Orang Miskin Harus Sekolah

Pengennya sih foto di sini pas udah pakai toga

Pernah dengar istilah orang pintar kerap kalah saing dari orang beruntung? Sayangnya saya tidak termasuk dalam kedua golongan orang itu. Saya tidak pintar, maka saya harus bekerja keras. Sialnya, saya juga kurang beruntung. Bisa berfoto selfie seperti ini juga merupakan buah dari perjuangan meraih keberuntungan.

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah.
-Thomas Alva Edison-

Thomas Edison terlampau kuat untuk menyerah. Jika beliau menyerah atas ratusan kegagalannya, mungkin kita tidak akan menikmati teknologi bola lampu saat ini. Mungkin. 


Saya sudah lumayan kenyang dengan kegagalan. Gagal selfie karena ponsel kurang oke, misalnya. Lalu gagal masuk Perguruan Tinggi Negeri tanpa tes yang menampar saya karena tidak pernah serius belajar. Gagal lulus SPMB di Universitas impian. Saya pikir saya tidak akan kuliah waktu itu. Seorang tetangga menyebut angka fantastis yang harus dikeluarkan untuk meraih pendidikan seperti anaknya. Sedikit banyak hal itu tentu menyurutkan nyali orangtua saya. Hingga akhirnya saya terpaksa konsisten mempelajari apa yang sebenarnya tidak saya harapkan dan IP 2,5 membuat saya putus asa. Sakit hati? Tentu. Mungkin saya butuh piknik dan ber-selfie ria dengan Smartfren kala itu. Sayangnya waktu itu belum nge-trend yang beginian.

Tahun kemarin saja UGM menerima secara resmi 9.133 mahasiswa baru. yang berasal dari 34 Provinsi di Indonesia, Perancis, Jerman, Qatar, dan Malaysia. Peminat UGM tahun 2014 sebanyak 295.395 orang (Sumber: ugm.ac.id). Selain SNMPTN dan SBMPTN, UGM juga menyediakan Seleksi Penelusuran Bibit Unggul (PBU), Seleksi Ujian Tulis UGM, dan Seleksi Program Internasional. 

Saya sadar, kegagalan kala itu karena usaha saya pun kurang pantas untuk bersaing dengan ratusan ribu orang itu. Namun nyatanya dengan salah jurusan (saya lebih senang menyebutnya: kecelakaan yang manis) justru mengantarkan saya sebagai penerima beasiswa pasca sarjana di kampus impian kebanyakan orang itu.


Berkali-kali saya disandingkan dengan kawan (yang sebenarnya lawan) ber-IPK 4-kurang-nol-koma membuat saya ingin melambaikan tangan ke kamera. Apalagi mereka berasal dari kampus ternama. Sertifikat prestasi yang disimpan udah bisa jadi monumen karena saking tinggi tumpukannya. Lah saya? Saya mah apa atuh? Hanya remah Oreo di galaksi bima sakti. Manis, beda, dan nagih. Haha... tapi kan cuma se-remah. Anyway, Tuhan itu memang Maha Adil. Memberikan saya keberanian dan sikap pantang menyerah untuk terus sekolah.

Pendidikan tinggi memang kebanyakan dipercaya mampu mengubah masa depan seseorang menjadi lebih baik. Namun akses dalam mendapatkan pendidikan itu sendiri tidak mudah apalagi murah. Beasiswa adalah salah satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Selain meringankan beban finansial, mendapatkan beasiswa tentu menambah deretan daftar pengalaman kita. Beasiswa tidak hanya terbuka bagi orang-orang dengan prestasi gemilang. Ternyata kesempatan meraih beasiswa bertaburan di luar sana, sodara-sodara!! Ini tentunya membuka paradigma berpikir orang-orang di kampung saya. Siapa sangka anak yang dulu suka ngeloakin buku bacaan bekas bisa kuliah S2?

Kebanggaan

Sepertinya saya benar-benar akan meng-amini teori Einstein bahwa hukum semesta adalah tarik menarik. Jika kita menginginkan sesuatu dan yakin akan mendapatkannya, maka kita akan dipertemukan dengan orang-orang dengan keinginan yang sama, kemudian kita akan mendapatkan pertanda, lantas kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan. Saya tidak menafikkan pengaruh film-film dan novel-novel yang saya baca bagi pencapaian impian saya. Tapi saya tidak suka membaca buku-buku motivasi yang menurut saya klise. 

Mungkin bagi beberapa orang, bisa kuliah di UGM itu biasa saja. Terlebih jika memang mampu melanjutkan kuliah ke jenjang selanjutnya tanpa harus membanting tulang dan harga. Tapi tidak bagi anak kampung seperti saya. Tapi dengan cara inilah setidaknya saya bahagia. Bahagia bisa bersekolah seperti yang lainnya.

Saya banyak belajar tentang kebahagiaan-kebahagiaan sederhana yang dapat ditemui oleh semua orang dengan caranya masing-masing, yang belum tentu bisa semudah itu dipahami orang lain. Sebenarnya saya sangat bahagia, sebesar takut kehilangan. Gimana nggak bahagia jadi representasi orang tak berada yang bisa terus sekolah?! Rasa bodoh yang selalu saya tampik tapi gigih berjuang ke permukaan, meskipun telah dan selalu saya redam. Katanya, inspirasi tak terbatas adalah hidup kita sendiri. 

Tuhan begitu baik, diberinya saya mimpi. Diberinya saya kekuatan untuk mewujudkannya. Karena saya menyadari, mimpi ini bukan hanya bentuk aktualisasi diri, tapi sebentuk cinta bagi diri saya sebagai manusia yang berhak memiliki mimpi. Bagi orangtua saya sebagai wujud cinta seorang anak, yang ingin membuat orangtuanya bangga sekaligus bahagia. Ternyata rasa bangga mereka itu menimbulkan kebahagiaan dan motivasi untuk saya. Saya pun menyimpulkan bahwa kebanggaan muncul dari sebuah prestasi, kerja keras, dan tercapainya mimpi-mimpi. 

Namun ternyata kebanggaan juga memiliki expired date. Seperti juga prestasi yang akhirnya dianggap lampau. Hal itu akan membuyarkan kebanggaan. Hingga pada akhirnya memberi dorongan untuk membuat pencapaian baru yang memunculkan kembali rasa “bangga” itu. Sayangnya, standar pencapaian yang menimbulkan perasaan itu bukan stagnan. Stagnansi berarti mati. Seperti level kedewasaan, level pengetahuan, dan level adrenalin pemicu upaya mengejar mimpi. Sedangkan mempertahankan itu lebih sulit dari meraih, dan tujuan kebanggaan bukan mempertahankan apa-apa yang sudah kita capai, tapi “melampaui”. 

Saya mulai mengotak-ngotakkan kebanggan. Kebanggaan karena diri sendiri juga merupakan dampak dari membahagiakan orang lain. Nyatanya saya tidak bisa sendiri. Bangga adalah rasa. Seperti semua rasa, bangga tak dapat ditakar. Saya bangga berkata, siapa bilang orang miskin dilarang sekolah? Saya hanya satu dari sekian banyak orang yang selalu ingin mengabarkan semangat untuk sekolah dan berbahagia. Bagi saya, kebanggaan adalah milik bersama-sama karena muncul akibat efek domino. Saya tidak bisa mencapai sesuatu seorang diri. Oleh karena itu, saya selalu ingin membagi rasa bangga dengan mereka yang selalu ada untuk saya. Dengan kalian, para pemimpi yang kelak melahirkan kebanggaan-kebanggaan versi kalian sendiri.



http://www.smartfren.com/ina/home/
 Artikel ini diikutsertakan dalam lomba selfie story bersama Smartfren.

12 comments

  1. bahagia karena membahagiakan orang lain, setuju banget, Mbak. Saya juga pengin bisa lanjut kuliah lagi. Tapi ya tapi, hehe. semoga studinya segera rampung dan Smartfren Windows Phone meluncur ke Mbak Rinda. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga someday, ya, Om Belalang Bijak :D Aamiin yaa Rabb... Terimakasih, Om.

      Delete
  2. keren,ada sesuatu yg aku dapatkan saat membaca ketikan mbak rin.
    salam kenal ya dan semoga menang kontes blog selfienya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin, terimakasih dan salam kenal juga, ya :)

      Delete
  3. Replies
    1. Hehe... terimakasih atas kunjungannya, Mak. Besok-besok mampir lagi, yak. :D

      Delete
  4. Inspiratif sekali mba, semoga saya juga bisa melanjutkan S1 di UGM. Aamiin yaRabb

    ReplyDelete
  5. wah selamat masuk padca sarjana di UGM

    salam kenal
    @guru5seni8
    penulis di www.kartunet.or.id dan http://hatidanpikiranjernih.blogspot.com

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<