Aruna dan Lidahnya among Ayam Taliwang, Plecing, Mint Tea, Kerupuk and Wedang Uwuh ( cred @vitarinda ; lokasi; Kerajaan Kecil Vita) |
Judul :
Aruna dan Lidahnya, Sebuah Novel tentang Makanan, Perjalanan dan Konspirasi
Penulis :
Laksmi Pamuntjak
Desain Sampul :
SOSJ Design Bureau & Consultancy
Ilustri sampul :
Barata Dwiputra
Foto Pengarang :
Nona soetirto
Harga : Rp. 78.000
Format : Soft Cover
ISBN : 6020308529
ISBN13 :
9786020308524
Tanggal Terbit :
27 November 2014
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Ia hanya tersenyum karena ia memang pelit kata.
Tapi aku tahu jawabnya: ia jarang salah karena ia pengunjung restoran yang
tak kenal lelah. Insting hanya bisa datang dari pengalaman; ia tak jatuh dari
langit, atau menyelusup seperti jin ke dalam tubuh, yang dengan baik hatinya
mengarahkan panca indramu untuk membuat pilihan-pilihan yang paling jitu.
(Halaman 42)
Aruna Rai, 35 tahun, belum menikah. Pekerjaan: Epidemiologist (Ahli Wabah),
Spesialisasi: Flu Unggas. Obsesi: Makanan.
Bono, 30 tahun, terlalu sibuk untuk menikah. Pekerjaan: Chef. Spesialisasi:
Nouvelle Cuisine. Obsesi: Makanan.
Nadezhda Azhari: 33 tahun, emoh menikah. Pekerjaan: Penulis. Spesialisasi:
Perjalanan dan Makanan. Obsesi: Makanan.
Ketika Aruna ditugasi menyelidiki kasus flu unggas yang terjadi secara
serentak di delapan kota seputar Indonesia, ia memakai kesempatan itu untuk
mencicipi kekayaan kuliner lokal bersama kedua karibnya. Dalam perjalanan
mereka, makanan, politik, agama, sejarah lokal, dan realita sosial tak hanya
bertautan dengan korupsi, kolusi, konspirasi, dan misinformasi seputar politik
kesehatan masyarakat, namun juga dengan cinta, pertemanan, dan kisah-kisah
mengharukan yang mempersatukan sekaligus merayakan perbedaan antarmanusia.
Aruna
is in her mid-30s and happily and proudly single. She is an
epidemiologist but her real passion is eating. She thinks and obsesses
about food 24/7. When she is dispatched to investigate curious cases of
Avian Flu in eight cities in the Indonesian archipelago, she brings
along her two best friends, the quirky, US-trained chef Bono, and the
impossibly chic food and travel writer Nadezhda to eat along with her.
Insights on food, local history, religion and Indonesian politics merge
as they find out more than what they bargained for in cities as diverse
as Surabaya, Bangkalan and Pamesan (Madura), Palembang, Medan, Banda
Aceh, Pontianak, Singkawang and Mataram. (laksmipamuntjak.com, 2014)
Aneka jenis kuliner yang dicicipi mereka melahirkan
kisah-kisah untuk dibawa pulang. Filosofi yang dimiliki oleh setiap bahan
pangan, cara meracik rempah hingga terhidang di meja makan bukan hanya
mengakrabkan satu sama lain, tapi juga menimbulkan diskusi yang debatable.
Novel yang dibuat ‘hanya’ dalam waktu satu setengah
tahun ini ternyata tidak kalah menarik dari Amba yang butuh sepuluh tahun untuk
menyusunnya. Ide penulisan yang berlatarbelakang merebaknya kasus flu unggas di
tahun 2005 tidak lantas membuat ceritanya ketinggalan zaman. Untuk menulis
novel sedemikian detil dengan sisi keilmiahan dan istilah-istilah, saya yakin
Laksmi tidak main-main dalam melakukan riset.
Melalui novel setebal 427 halaman ini pembaca dibuat
lebih mengenal indonesia dari sisi yang tidak biasa. Kearifan lokal dari
beberapa tempat yang berbeda dituliskan secara unik, tidak terkesan
lompat-lompat, dan tidak dibuat-buat. Dengan ribuan suku yang mendiami ujung
barat hingga timur indonesia, tentunya tafsir kebiasaan mereka pun memperkaya
wawasan kita. Makanan, hanyalah salah satunya.
Laksmi berhasil mencapai tujuannya untuk mengawinkan
tema makanan dengan budaya daerah hingga budaya korupsi. Isu flu unggas
merupakan ide cerdas untuk mengungkap sesuatu yang satire.
Setelah membaca Aruna dan Lidahnya saya mulai
mengait-kaitkan filosofi makanan dengan kepribadian manusia. Menelisik sifat
dan karakteristik bahan pangan hingga seperti kembali mengikuti mata kuliah
Penanganan Pasca Panen hingga Ilmu Gizi Pangan. Meski menguak luka lama karena
tidak berhasil mendapatkan nilai A, baru sekarang saya merasa enjoy dalam menyerap sisi teoritisnya,
sisi ilmiahnya. Bahwa dari karakteristik itulah kita tahu bagaimana suatu bahan
pangan harus diperlakukan, bagaimana ia harus dihidangkan, dan dalam suasana
seperti apa.
Laksmi juga mengajarkan saya tentang Sampanye dan
Popcorn, seperti filosofi Mars dan Venus. Ah, tapi tidak sama. Jelas yang ini
berbeda. Banyak ilmu dan kesadaran baru yang terbangun setelah membaca novel
ini. Saya jadi lebih merasa sebagai manusia.
... Tapi, juga sebagaimana sampanye, untuk setiap
Nadezhda ada saat yang paling pas. Ketika hari masih terang, ia ringan, renyah,
kanak. Sesuai dengan kategorisasi seorang penulis wine yang sering dikutip-kutip Nadezhda, saat makan siang, ia rose: ranum, merekah, semburat merah. Menjelang
malam, ia blanc de blanc. Putih di
atas putih, bagaikan kelibat kilat ujung gaun penari terakhir sebelum ia raib
dari panggung, laksana cahaya terakhir yang mengiris petang... (Halaman 90-91).
Ah, diksinya terlalu luar bisa. Contoh di atas
hanyalah salah satunya. Laksmi ternyata sangat cerdas mendeskripsikan seperti
apa Nadezhda dari kacamata seseorang yang hanya layak diibaratkan seperti
popcorn.
Kopi, Laki-laki dan Burung Juara (cred: @vitarinda; lokasi @BlackboneCoffee) |
... Di Ulee Kareng, di Warung Kopi Solong yang
tersohor itu, laki-laki bertebaran seperti biji-biji kopi Gayo andalan. (Halaman
310)
Aku gagal paham, kenapa Laksmi memilih Aceh? Kenapa
Laksmi memilih kopi Gayo? Tentu saja aku tahu seperti apa rasanya kopi yang
terkenal itu. Aku pun sangat ketagihan. Ada yang bilang beberapa diberi ganja. Ada
juga yang bilang, memang begitulah karakteristik kopinya. Lalu aku berencana
membuka lagi materi kuliah Kopi dan Kakao. Lalu kenapa Laksmi memilih kopi
Robusta? Sedangkan Indonesia Barat juga punya kopi Arabika yang sedikit asam
dengan aroma yang kuat dan selalu menimbulkan semangat. Pertanyaan terakhirku,
kenapa Laksmi memilih Aceh? Bukan Lampung, kampung halamanku yang terkenal
dengan kopi Liwa atau kopi luwaknya. Di sana
ia juga bisa sekalian mencicip hidangan seruit dan durian yang mantap rasanya. Di
sana juga ada pempek, tak perlu jauh-jauh ke Palembang. Bukan pula Belitung,
sebagai nyata-nyata Pulau Seribu Kedai Kopi?
Beberapa 'Onggok' Kopi (Cred: @vitarinda ; lokasi: @BlackboneCoffee) |
Saya rasa ia punya alasan yang tepat, seperti juga
kenapa ia memilih menyebutkan soto Bangkalan atau Sumenep. Bukan soto Betawi atau soto (coto) Makassar. Dan Laksmi ternyata
tahu persis bagaimana caranya membuat sajian bebek yang membuat penikmatnya ‘mau
matiii... gilaaaaa’, sementara saya hanya tahu bahwa Bebek Sinjay di Bangkalan
itu memang beda daripada bebek di Yogyakarta.
Ah, tak ada habisnya mengomentari kecerdasan penulis
yang satu ini. yang jelas, ia berhasil membuat saya lebih banyak belajar dan
tersadar. Seperti doktrin yang saya terima setelah membaca Amba, yang membuat
saya merasa harus membaca Mahabarata dan Serat Centhini yang luar biasa susah
didapatkan, kali ini saya merasa harus lebih banyak belajar mengenai ‘jiwa’
dalam setiap makanan. Dan parahnya lagi, hingga saat ini saya masih dibuat
penasaran dengan The Question of Red: A Novel dan Perang, Langit dan Dua
Perempuan yang mungkin mengharuskan saya melakukan perjalanan ke barat untuk
mencari dan mendapatkan kedua buku yang (saya kira juga) luar biasa itu.
Baca reviewnya jadi kepengin baca novelnya ^_^
ReplyDeleteAh, terimakasih Teh Eva. Artinya berhasil membuat penasaran. Jadi semangat belajar mengulas :)
DeleteBagus nih novelnya, thanks reviewnya :)
ReplyDeletewww.fikrimaulanaa.com
Sama-sama :)
Delete