Mendapatkan kesempatan kuliah dengan
bantuan beasiswa, ditambah lagi iming-iming pekerjaan setelah lulus mungkin
jadi idaman banyak orang. Apalagi dibiayai oleh rakyat. Meski skema beasiswaku
tak sepenuhnya menggunakan uang dari rakyat, namun kelak rakyat pula yang akan
menanggung hutang luar negeri yang terpakai oleh kami.
Saya memang tidak kuliah di kampus
impian. Tidak pula mendapatkan skema beasiswa yang saya idam-idamkan. Tapi
kuliah gratis dan kesempatan pulang kampung setiap bulan tentu saja tak patut
saya lewatkan.
Masa awal kuliah dan tinggal di
kontrakan membuat saya kaget, sekaligus menderita culture shock. Saya
sempat stress. Bahkan hingga kini saya belum bisa berdamai dengan
lingkungan sekitar. Apalagi jika sudah bercerita tentang makanan dan berpikir
'saya mau makan apa hari ini?'. Cita rasa makanan Jogja yang kebanyakan manis
membuat saya menderita. Bukan saja mulut yang tidak suka, tapi juga organ
pencernaan hingga dua tahun ini belum juga bisa menerima. Mau masak sendiri
saya tak cukup waktu dan memang di kontrakan saya tidak terdapat dapur.
Kampus, yang akan segera menjadi kenangan |
Alhasil saya lebih memilih makanan
modern yang tentu saja menguras uang bulanan saya. Bukan pula saya tak tahu
efeknya bagi kesehatan saya. Tapi apa boleh buat, saya tak punya pilihan.
Dua tahun sudah saya hidup di
perantauan dengan segala kegalauan. Seharusnya saya sudah bisa lulus dan
hengkang dari kota yang katanya istimewa. Namun faktanya, saya terganjal dengan
tesis yang tak kunjung terselesaikan. Bukan karena terlalu sulit. Bukan juga
dosen saya tidak memberikan saya waktu untuk berdiskusi. Justru beliau selalu
mengejar-ngejar saya setelah setahun belakangan ini saya sibuk di laboratorium.Ya, saya bermalas-malasan dan menunda banyak hal waktu itu.
Masalah yang saya hadapi sebenarnya
bisa dibilang 'remeh'. Saya kehilangan passion dalam penelitian karena
saya sebenarnya ingin beralih topik, tapi tidak mendapatkan ijin dari dosen.
Akhirnya saya melakukan segalanya pun dengan setengah hati. Dengan semangat
yang terkesan dipaksakan. Beruntung saya berada di antara orang-orang yang
selalu mencintai dan menyemangati saya. Meski mereka jauh, kehadiran mereka
dalam hari-hari saya melalui audio dan virtual cukup menjadi moodbooster untuk
saya menyelesaikan kewajiban ini.
Hingga deadline kuliah saya
mendekati limit dua tahun, saya malah tumbang. Badan saya menjadi begitu
ringkih. Saya mendapat masalah kesehatan pencernaan. Dan entah masalah apalagi
dalam tubuh saya yang membuat segalanya jadi semakin sulit. Saya ambruk sejak
pulang kampung di Bulan Ramadhan kemarin. Di rumah, kerja saya hanya tiduran
dan membantu ibu sebisanya. Pencernaan saya terlalu sulit diajak
berkompromi. Berat badan saya susut hingga sepuluh kilogram. Sungguh
prestasi yang sangat berbeda dibandingkan dengan teman-teman saya yang beratnya
naik hingga belasan kilogram.
Seharusnya Agustus kemarin saya sudah
bisa menyelesaikan semuanya. Maksimal Oktober mendatang saya diwisuda. Ya,
wisuda untuk kedua kalinya dan menyandang gelar "MSc" dari sebuah
kampus ternama di pulau Jawa. Pelengkap kebahagiaan sekaligus penuntas
kewajiban kepada kedua orang tua saya. Telah terbayang kedua orang tua
menyaksikan nama saya dipanggil sebagai wisudawati dengan predikat ‘cumlaude’.
Sebuah mahakarya, Let's start the countdown, dear readers |
Malang tak bisa ditolak. Saya harus
membayar SPP dengan biaya pribadi sebesar enam juta rupiah. Apakah saya mampu
bayar sendiri? Tentu tidak. Saya belum bekerja. Usaha yang berkali-kali saya
rintis pun belum bisa menghidupi saya. Akhirnya orang tua lagi yang harus
menanggung semuanya. Meski berat, orang tua tetap mengeluarkan segala biaya.
Termasuk biaya hidup, kontrakan, dan keperluan lain saya di perantauan. Saya
jadi merepotkan semuanya.
Perpanjangan masa studi ini seharusnya
tak perlu terjadi. Seandainya saya pandai menjaga diri. Menjaga kesehatan dan
mengoptimalkan waktu yang saya miliki. Target ujian pendadaran yang semula saya
targetkan dalam rentang 6-8 Agustus harus molor hingga entah kapan. Selain
badan saya tak bisa lagi diajak bergadang, beberapa hari ini saya sering pula
mimisan. Tuhan, cobaan apalagi yang Engkau limpahkan... rintih saya di tengah
kesendirian.
Saya akui, cuaca Jogja akhir-akhir ini
memang panas luar biasa. Ditambah lagi angin kencang yang membuat tubuh menjadi
tak nyaman. Akhirnya saya ambruk lagi di kontrakan. Hingga dokter menyarankan
saya untuk diopname, namun saya menolaknya dengan berbagai alasan. Saya memilih
bed rest di kamar yang sering saya
sebut ‘Kerajaan Kecil Vita’. Sedikit membantu memperbaiki imunitas, namun tidak
terlalu berarti karena saya tetap tidak bisa memaksakan diri. Ibu bilang, saya
terlampu stress. Mungkin.
Mungkin juga saya adalah golongan
orang-orang yang tertipu. Yang terlena. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Jauzi, ”Terkadang manusia berada dalam kondisi sehat, namun ia tidak memiliki
waktu luang karena sibuk dengan urusan dunianya. Dan terkadang pula seseorang
memiliki waktu luang, namun ia dalam kondisi tidak sehat. Apabila terkumpul
pada manusia waktu luang dan nikmat sehat, sungguh akan datang rasa malas dalam
melakukan amalan ketaatan. Itulah manusia yang telah tertipu (terperdaya).”
Hal ini menguatkan hadist, ”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia
tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhari no. 6412,
dari Ibnu ‘Abbas).
Saya terhenyak di antara penyesalan dan kesedihan yang saya pendam. Mungkin saya kurang bersedekah, saya kurang ikhlas menjalani, dan saya juga menjauh dari Tuhan. Saya harusnya lebih sabar, karena kesabaran itu tiada berbatas. Allah menguji kesabaran saya dengan kesulitan ini-itu agar tampak bagaimana rekam jalan juang ini. Bagaimana azzam-ku akan jihad dalam menuntut ilmu. Allah Ta'ala berfirman:
ÙˆَÙ„َÙ†َبْÙ„ُÙˆَÙ†َّÙƒُÙ…ْ
ØَتَّÙ‰ Ù†َعْÙ„َÙ…َ الْÙ…ُجَاهِدِينَ Ù…ِÙ†ْÙƒُÙ…ْ Ùˆَالصَّابِرِينَ
"Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan
menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di
antara kalian." (QS. Muhammad:31)
Sebagai seorang peziarah di dunia, kehilangan kesempatan lantaran tak
pandai memanfaatkan waktu luang dan nikmat sehat adalah teguran terbesar dalam
hidup saya. Gara-gara kelalaian ini, banyak orang yang merasakan akibatnya.
Orang tua yang masih harus membiayai dan menanti-nanti pencapaian gemilang saya
adalah penyesalan paling utama. Ketiga adik saya juga tentu merasakan imbasnya.
Dosen dan almamater yang harus merelakan ada mahasiswa yang ‘nunggak’ masa
studi tentu harus menerima konsekuensi penilaian akreditasi. Juga masyarakat
yang telah menanti kiprah dan wujud nyata pengabdian saya. Semoga Tuhan masih
menyediakan banyak waktu dan kesempatan untuk menebus semuanya.
ah sudah kehilangan kesempatan dan menghambur2kan waktu yaaa? :)
ReplyDeletelain kali jangan begini, jadikan pelajaran yaaa... semoga bisa jadi manusia yg lebih baik lagi
dan juga kesehatan, kakak :((
Deleteterimakasih atas GA yang kece ini yaaaaaaaaaaaa...
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletehalo salam kenal.
ReplyDeletesaya tau dari foto dan logo, itu kampus univ mana :))
wah bagi pendatang kadang harus menyesuaikan diri ya dgn makanan jogja. kalo bagi saya sih ini kota ternyaman se indonesia. tapi makanan tradisionalnya emang nggak begitu pas di lidah, sehingga saya milih menyantap makanan umum2 aja :D bukan yg khas2, hehe...
beruntung sekali mbak, bisa kuliah gratis. ada lho org2 diluar sana yg mau berburu beasiswa tapi ga bs karena prodinya ga terdaftar. :)) *saya misalnya*
semoga bisa diambil hikmahnya atas kehilangan waktu dan kesempatan. insya allah peristiwa tsb bermanfaat. semangat ya!! ^_^
Salam kenal juga Mbak Ina, terimakasih sudah mampir dan meninggalkan jejak :) yang saya temui, makanan yang umum pun berasa tidak pernah enak semacam tumis teri atau tempe pun rasanya. Itu selera, mungkin. Saya juga memang belum bisa merasa nyaman di Jogja dari semua kota yang pernah saya singgahi... hehe...
Deletehellllooooo :)
ReplyDeleteselamat yaaa kamu dapat hadiah atas tulisan km d blog ^^
cekiiii cekiii di http://argalitha.blogspot.com/2014/10/happy-milad-day-mommy-pengumuman.html ya^^ Ditunggu loh
Yuhuuuuu... terimakasih Mbak Arga :)
Delete