Bekerja Under Passion

Banyak yang bertanya
aku ini mau jadi apa?
nggak kuliah juga nggak kerja 

tapi kujawab inilah aku apa adanya

tapi jangan kira 
aku nggak berbuat apa-apa
aku berkarya dengan yang ku bisa 
dan yang penting aku bahagia

(Bebas Merdeka, Steven And The Coconut Treez)

Aha! Itu adalah soundtrack of my life ketika saya dinyatakan sebagai PENGANGGURAN seorang yang bebas merdeka. Lulus dari sebuah universitas negeri dengan titel sarjana dan wisudawan terbaik tingkat fakultas ternyata tidak berarti apa-apa. Nyatanya, tidak ada pekerjaan yang mendekat sendiri kepada saya. Errrr... adakah yang berpikiran serupa? 

Honestly, saya belum ingin bekerja waktu itu. Saya belum terpikir untuk menjadi wanita karir. Saya tidak ingin mempunyai aktivitas monoton dan hidup di bawah tekanan atasan dan aturan perusahaan. Saya ingin kuliah. Tapi setelah setahun berjuang, proses beasiswa saya gagal terus. Lamaran yang saya kirimkan juga tidak kunjung mendapatkan jawaban. Ketika itu saya mengirimkan aplikasi ke sebuah perusahaan surat kabar harian. Ya, saya ingin menjadi seorang reporter dengan hectic-nya hidup sebagai reporter yang sudah terbayang dalam benak saya. Dan saya menyukainya.


Ketika itu saya masih aktif dalam suatu lembaga yang bergerak di bidang advokasi lingkungan. Saya sedang berada di Jakarta untuk penulisan sebuah buku terkait persoalan kehutanan yang ditulis bersama-sama beberapa ahli di bidangnya. Saya mendapatkan kabar bahwa saya mendapatkan panggilan untuk mengikuti TPA dan ujian tertulis bahasa Inggris di salah satu BUMN di Jawa Barat. Saya kaget. Aplikasi itu sudah saya kirimkan sekitar setengah tahun sebelumnya. 

Pada akhirnya saya membatalkan tiket pesawat kepulangan saya ke Lampung dan memesan travel untuk meluncur ke Bandung untuk mengikuti tes keesokan harinya. Surat panggilan dan nomor tes telah dikirimkan oleh sepupu saya dari Lampung kepada seorang kawan di Bandung yang pada akhirnya sangat membantu dalam hal antar-jemput dan penginapan gratis selama periode tes. 

Ternyata pesertanya bukan main. Mencapai delapan ribuan orang dan ini di luar perkiraan saya. Saya pikir saya adalah 'orang pilihan', ternyata belum bisa dikatakan demikian. Waktu itu saya tes memakai baju yang sudah saya pakai dua kali di Jakarta. Semoga orang lain yang dekat dengan saya tidak tutup hidung.

Minimnya persiapan menghadapi tes dan keawaman saya tentang seluk-beluk tes membuat saya 'demam panggung'. Pertama, saya tidak menyangka pesertanya sebanyak itu sementara yang akan diterima sebagai karyawan hanya sekitar empat puluh orang dengan posisi yang berbeda-beda. Dan posisi yang saya pilih saya terlalu 'difavoritkan' ketika itu. Kedua, saya belum siap secara fisik, mental, maupun pikiran. Saya tidak ada persiapan belajar, bahkan pakaian pun saya tidak siap. Ternyata hal ini cukup menggganggu kepercayaan diri saya sekaligus memunculkan sugesti yang berupa-rupa. "Ini berbahaya," pikir saya.

Tanpa disangka-sangka, saya mendapatkan pangilan untuk tes selanjutnya. Saya masih harus mengikuti tes tertulis lagi. Saya berangkat dari Lampung dengan menumpang bus dengan cara ngeteng ke Bandung. Saya kere sekali waktu itu. Pesertanya tersisa tiga ribuan orang.

Saya akhirnya lolos untuk mengikuti seleksi wawancara. Dan bodohnya, saya baru tahu kalau pengumuman update peserta tes di BUMN ini bisa dicek via internet. Saya melihat nama saya terpampang di sana untuk mengikuti tes wawancara. Saya kembali meluncur ke Bandung. Kali ini saya sangat ngirit karena saya juga akan menonton konser band kesayangan saya di Bandung. Pikiran saya terpecah. Ini adalah sesuatu yang salah. Saya bukannya fokus menyiapkan pakaian untuk wawancara, malah sibuk menyiapkan kostum untuk nge-gigs dan ber-hura-hura pesta.

Saya juga sempat googling teknik-teknik wawancara. Tapi saya  pikir semuanya jauh dari apa yang telah saya lakukan. Di antara tips itu antara lain:


1. Berpakaian dengan Baik

Faktanya saya hanya memakai sepatu flat, kemeja ber-hem, dan rok warna hitam plus kerudung abu-abu. Saya pikir cukup rapi, tapi ternyata tidak menurut seorang teman saya. Dan benar saja, di sana yang saya lihat adalah para lelaki dengan sepatu pantofel klimis, rambut klimis, kemeja dimasukkan ke dalam celana dan membawa tas kerja. Begitu juga para wanitanya, ada suara 'kletak-kletok' ketika mereka berjalan.

2. Perhatikan Cara Anda Bersikap

Saya menjaga kontak mata. Saya berjabat tangan dengan pewawancara. Tapi sialnya, dalam keadaan grogi begitu, keringat di tangan saya tidak mau berhenti keluar. Ini bukan sikap yang baik di depan pewawancara yang siap kapan saja 'menerkam' anda!

3. Jangan Gugup

Saya perlu rileks dan tidak boleh sedikitpun terlihat gugup. Bahkan suara saya ikut bergetar.Saya sampai kehilangan keseimbangan berpikir untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya simpel saja. Hingga pewawancara nyaris mencairkan suasana tapi pada akhirnya malah membuat saya semakin nervous dengan pertanyaan:

"Apakah anda siap tinggal di Jawa Barat, anda kan dari Lampung dan belum pernah terpisah dari orang tua sebelumnya?" kira-kira begitu pertanyaan sari salah satu pewawancara.

"Siap, Pak!" jawab saya mantap.

"Oh, pacar anda orang Bandung, ya?" pertanyaan ini membuat saya sedikit terbelalak, beruntung segera dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya sebelum mata saya benar-benar keluar. "Anda siap ditempatkan di daerah terpencil?"

"Siap, Pak. Rumah saya juga di kampung, kok, Pak. Saya juga sudah terbiasa mendampingi masyarakat di pinggir hutan..., " pada akhirnya jawaban saya mengalir apa adanya tanpa rencana dan rekayasa. 

4. Latihan Dahulu Sebelum Wawancara

Seharusnya saya berlatih dulu sebelum menghadapi wawancara yang sesungguhnya. Sepertihalnya latihan pidato, saya harus menghindari kata 'eee', 'uummm', atau 'ini-itu' yang sudah seperti 'latah' dan menjadikebiasaan. Tapi nyatanya saya tidak melakukan latihan, hanya persiapan pengetahuan mengenai perusahaan.
Rekan seperjuangan tes fisik seleksi calon karyawan sebuah BUMN
Pada akhirnya saya mengikuti tes fisik sebelum hasil wawancara diumumkan. Saya sendiri tidak tahu harus berbuat dan bersikap seperti apa ketika tes ini. Saya tidak tahu penilaian yang dilakukan dari sisi apa saja. Toh saya hanya harus berguling, berlari, melompat, tiduran, membentuk formasi tertentu bersama teman-teman (saya tidak sanggup menganggap mereka 'rival). Saya hanya have fun dan lupa bahwa saya sedang diseleksi. Hufttt..

Saya baru sadar kalau perjuangan untuk mendapatkan pekerjaan itu tidak mudah ketika saya dinyatakan belum diterima setelah melewati sederetan tes. Kerja tidak sama dengan bermain meski harus dilalui dengan bersenang-senang. Kerja tidak sama dengan kuliah meski masih harus terus belajar. Saya terus mengejar beasiswa. Lagi dan lagi. 

Memilih Menjalani Hidup Sesuai Passion

Dalam perjalanan saya menunggu proses untuk mendapatkan beasiswa dan kuliah lagi diluar negeri seperti layaknya harapan banyak orang, saya mendapat surat panggilan tes di kantor surat kabar harian di mana saya dulu sempat menggantungkan harapan. Senang rasa hati ini bukan kepalang. Saya mengikuti rangkaian tes tertulis sebanyak tiga kali. Saya lolos. Lalu saya mengikuti wawancara dengan tingkat kepercayaan diri maksimal. Saya hanya menjawab dengan mantap: "saya mencintai profesi ini, bidang ini, untuk itu saya berada di sini saat ini" ketika ditanya alasan saya melamar posisi reporter. Sang pewawancara yang saya lupa namanya -tapi wajah ayunya masih terbayang juga hingga saat ini- hanya tersenyum dan memberi pertanyaan berikutnya:

"Berapa gaji yang anda minta dari perusahaan kami?"

"Empat juta lima ratus ribu rupiah untuk satu bulan," jawab saya mantab. Eh, si Mbak hanya melongo.

"Maaf sebelumnya, kalau untuk nominal sebesar itu untuk karyawan baru kami belum bisa berikan. Tapi di perusahaan ini ada penjenjangan karir. Jadi anda jangan khawatir," katanya sembari tersenyum.

"Memang gaji reporter baru berapa, Mbak?" saya mulai santai.

"Gaji pokok sekitar satu setengah juta, belum ditambah transport dan lainnya," si Embak tersenyum lagi. Saya langsung kaget bukan kepalang sekaligus malu. Jauh sekali dari permintaan saya. 

Saya memang tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul. Saya juga menjawabnya atas dasar pengalaman saya mendampingi masyarakat melalui program CSR suatu perusahaan. Waktu itu saya melakukan pendampingan selama kurang lebih satu bulan. Gaji saya sebagian saya belikan laptop yang masih belum tergantikan sampai sekarang. Artinya, saya pikir wajar jika saya meminta gaji seharga sebuah laptop waktu itu.

Pada akhirnya saya dinyatakan lolos dan maju untuk tes kesehatan. Saya bekerja di perusahaan itu dan mendapatkan gaji Rp. 1.800.000. Nominal yang kecil jika dibandingkan dengan apa yang saya bayangkan. Tapi ada kepuasan ketika saya menjalani profesi sebagai reporter. Bertemu banyak orang. Ditolak oleh narasumber. Hingga mengejar mobil Dalmas saat meliput razia anjal, pencopet, dan kawan-kawannya yang saya kemas dalam bentuk feature dan mendapat pujian dari redaktur. Itu sangat berkesan. 

Masa training saya lalui dengan berangkat pagi dan pulang larut malam. Bahkan saya pernah pulang pukul dua belas malam. Rapat dadakan dan tulisan yang dicorat-coret bukan halangan tapi menjadi tantangan. Saya juga sangat bersemangat. Memang benar bahwa kita harus mampu bekerja under pressure tapi bagi saya, yang lebih penting adalah Bekerja Under Passion. Jika suatu hal dilakukan atas dasar passion kita, maka kita akan terus ikhlas menjalani seberat apapun itu. Kita akan menjalaninya dengan sukacita dan jauh dari stress.

Namun ketika saya menyadari bahwa meniti karir itu tidaklah mudah dan harus ekstra sabar, saya dinyatakan lolos seleksi beasiswa untuk program pascasarjana di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dengan berat hati, saya harus resign dari kantor tersebut. Padahal harapan demi harapan telah saya tuliskan untuk maju bersama perusahaan itu. Apa boleh buat. Toh ini diluar perencanaan saya. Ketika saya sudah sedikit melupakan bahwa saya pernah melamar ke perusahaan itu, dan saya memilih fokus untuk mencari beasiswa karena tidak kunjung mendapatkan panggilan. 

Semoga ini adalah keputusan terbaik dari yang memang menjadi takdir Tuhan. Tidak ada cara instant untuk bisa sukses. Pun saat ini. Saya harus belajar lagi  untuk meniti jenjang  karir yang menjanjikan masa depan cemerlang. 

2 comments

  1. passion seringkali akrab dengan pressure..tapi jadi ngg kerasa kan :)...nice to know you've found what your heart is fond of...mari kita sama-sama berjuang :)...cheeers...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oui, Mbak Indah. suka cita aja rasanya, tau-tau badannya ngedrop palingan... Semangat,Mbak!!!! Cheers ^_^

      Delete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<