Anatomi Rasa: Rel Kereta


Perjalanan demi perjalanan kian mendewasakanku, Dear. Bertemu orang-orang baru dengan kejutannya masing-masing membuatku perlahan menguak makna hidup. Mungkin aku terlalu naif untuk meratapi hidupku sendiri. Nyatanya, aku belum terlalu kuat untuk memahami hidupmu. Ah, tapi seiring dengan berjalannya waktu, otakku juga terus berputar-putar dan kian berusaha tegar. 

Pertanyaan yang terus mencecarku adalah apakah aku sudah seikhlas dan sekuat rel kereta yang kugilas ini? Seperti kamu yang selalu rela mereka bergelantung padamu. Seperti kamu yang selalu mau melakukan apapun demi mereka yang membutuhkanmu. 


Aku menitikkan air mata, Dear. Ternyata aku begitu kerdil. Aku perlu belajar semuanya darimu. Menyerap ilmu ikhlasmu. Meresapi ilmu tegarmu. Seperti rel kereta ini, yang tak pernah sedikitpun berderit meski begitu berat beban yang menimpanya. 

Rel kereta ini memang terbuat dari baja, Dear. Tapi hatiku bahkan tidak sebaja hatimu. Pikiranku tak sebesar pikiranmu. Apakah ini pertanda yang Tuhan kirimkan? Bahwa kamu datang untuk menguatkanku. Kamu hadir untuk mengajariku.

Dadamu mungkin tak sebidang angkasa raya. Tubuhmu mungkin tak sekuat baja rel kereta. Tapi pemikiranmu tak bertepi seperti samudera. Tapi riakmu kecil seperti danau di sisi bukit sana. Padahal kabut dengan tega menutup pesonamu begitu saja.

Seperti rel kereta, kamu selalu kuat menopang beban. Seperti rel kereta, dadamu selalu kubutuhkan untuk pulang.


Jember-Jogja, 6 Juni 2014

4 comments

  1. Dear, jika kau sekuat 'dear-rel KA' mu itu, kau tak lagi punya alasan untuk membutuhkan dadanya ketika kau pulang

    ReplyDelete
  2. mungkin hanya satria baja hihtam yg sekuat rel KA
    hmm ...

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<