Tukiman: Cinta Tak Pernah Mati



“Dulu itu saya umur tiga belas tahun. Di rumah saya ramai sekali. Saya didandani[i]. Saya nggak tau mau diapain... eh, nggak taunya saya dinikahin sama bapak (Tukiman) yang umurnya sudah tiga puluh lima, “ papar Istri Tukiman berkaca-kaca. “Saya itu dulu sering dinasehati sama Bapak. Kalau Bapak pulang dari ladang, nggak ada makanan di rumah. Bapak suka jemput saya yang lagi main di rumah tetangga. Saya lagi main lompat karet, diseret dibawa pulang,” lanjutnya.
Kami terdiam beberapa saat.
“Bapak itu nggak pernah marah sama saya. Sama anak-anak juga nggak pernah marah. Paling Cuma nasehati pelan-pelan. Saya nggak bisa masak, ya, diajarin sama dia. Kami masak berdua di dapur. Kami nyuci baju. Kami cari kayu bakar. Yah, namanya aja masih tiga belas tahun. Saya, ya, belum ngeh kalau saya sudah jadi istri,” dia terkekeh,"Bapak itu dari dulu tetap manggil saya 'Nduk' sampai dia nggak ada lagi nggak pernah berubah. Tetap 'Nduk' dan saya manggil dia 'Kang',"kenangnya.
Tiba-tiba angin laut yang sangat kencang membawa butir-butir pasir masuk ke dalam rumah papan yang berlubang itu. Tidak lama kemudian, hujan deras turun diikuti petir bersahut-sahutan. Serta-merta kami menutup semua pintu dan jendela.



Hari itu Tukiman mengeluhkan sakit pada perutnya. Sudah sejak lama dokter memvonis ia menderita maag kronis. Berkali-kali pula ia jatuh sakit dan bangkit lagi. Sepulang dari dokter dan sholat maghrib, ia berkata pada istrinya bahwa ia ingin buang air kecil. Istri yang sangat takzim padanya itu pun mempersilahkan suaminya untuk buang air di dapur yang berlantai tanah.
“Udah isya, belum, Mak?” 
“Ya belum lha wong ini aja baru jam setengah tujuh kurang lima menit. Ya, nanti gampang wudhu lagi saya ambilkan air.” Sahut istrinya dengan sabar.
“Nggak apa-apa saya kencing di sini, Mak?”
“Nggak apa-apa, Pak. Nanti saya bersihkan. Daripada bapak kehujanan. Diluar masih hujan, Pak” Sang istri pun menyediakan bangku kecil untuk suaminya. 
“Terimakasih, ya, Mak...”, kata sang suami sembari tersenyum menatap istrinya lekat-lekat.
“Iya, Pak. Sama-sama”, sahut istrinya sembari menerka-nerka. 
Istrinya kerap menyaksikan orang dalam keadaan sakaratul maut dengan berbagai kondisi. Kali itu ia merasakan bahwa pandangan yang kosong dari suaminya merupakan pertanda. Berkali-kali sang istri menepis prasangka tersebut jauh-jauh.
“Mak, dari kecil hingga sekarang hidupmu gini-gini aja. Susah. Aku belum bisa membahagiakan kamu,” Tukiman berkata lirih. 
“Pak, orang susah itu justru bersyukur. Orang banyak harta itu banyak diambil juga. Indaq, Sedekah, pajak, dan lain-lain. Lah, kalau orang susah apa yang mau diminta lagi? Gini aja saya sudah senang, kok, Pak”, istrinya tersenyum.
“Maafin saya, ya, Pak... saya banyak salah sama kamu...”, 
“Iya, Mak, sama-sama... saya juga minta maaf saya banyak merepotkan kamu. Anak kita banyak tapi kehidupan kita begini-begini saja. Kalau kita mau mengumpulkan harta, itu dulu. Sekarang kita sudah tua, nggak perlu lagi memikirkan pengen baju yang bagus. Kamu kalau ke pasar beli sayuran yang enak, ya, Mak.” Tukiman tersenyum,” Sekarang nggak usah mikirin rumah, ya, Mak. Nanti kalau sawit kita sudah panen, baru perbaiki rumah.”
Mereka sempat berpegangan tangan erat. Erat sekali seperti saling merindukan dan menguatkan. Mereka kemudian bercerita tentang masa lalu. Masa-masa yang mereka anggap paling membahagiakan. Mungkin juga paling romantis. Mereka saling berpandangan. Lama. Lama sekali. 
“Mak, ini kencingku nggak bisa keluar kalau begini”, Tukiman tersenyum.
Walah... ya keluarin aja, Pak, nanti saya bersihkan”, suaminya kemudian berterimakasih lagi. Maka lengkaplah sudah tanda-tanda yang dirasakan istrinya bahwa ajal suaminya sudah dekat. Hingga kemudian suaminya hanya mengucapkan “Allah... Allah... ” dan atas bimbingan istrinya, Tukiman menghembuskan napas terakhir dipangkuan istrinya. 
Hanya itu yang diingat istrinya. Detik-detik terakhir sebelum suaminya tercinta benar-benar tiada. Kemudian ia mengusap wajahnya dan anak-anaknya datang berhambur. Hanya itu. Selebihnya hanya ada rasa nyeri di sekujur tubuhnya. Nyeri dalam arti sebenarnya. Juga dalam dada. Pukul setengah tiga pagi ketika ia terbangun diatas dipan di bawah kelambu. Diantara riuh suara orang-orang membacakan Surah Yassin. Ia tahu Yassin untuk siapa itu. Baru kemudian ia yakin bahwa suaminya telah pergi mendahuluinya.
Suasana di sekitar rumahnya seperti pasar. Orang-orang datang bertakziyah dari segala penjuru. Tak jarang ia pun tak mengenal orang-orang itu. Mungkin mereka juga sayang kepada suaminya. 
Tukiman bukanlah seorang pejabat. Bukan pula pesohor yang di kenal di mana-mana. Ia hanya orang baik yang gemar mengangkat saudara, mengangkat anak di mana saja. Ia selalu menebarkan kebaikan bagi orang-orang. Anaknya yang ditinggalkannya ada lima orang. Dua orang sudah berumahtangga dan punya kehidupan masing-masing. Seorang anaknya baru saja lulus SMK, sementara kedua adiknya masih SD.
Adam yang rajin belajar

Istri Tukiman pun akhirnya mempersilakan anak-anak, cucu, dan menantu, serta seluruh sanak keluarga untuk memandikan jenazah suaminya. Haru dan kekaguman yang dirasakan oleh para tamu. Bukan kesedihan yang menyayat-nyayat yang tampak di wajah para tamu. Mereka kagum melihat Almarhum Tukiman tersenyum bahagia. Wajahnya pun tak lagi lusuh dan legam terpanggang matahari. Wajahnya begitu bersih dan bersinar.
Uang shalawat yang terkumpul melebihi perkiraan. Para pelayat juga masih terus berdatangan. Hingga puluhan juta mereka dapatkan untuk membereskan segala utang. Sama sekali jauh dari perkiraan keluarga yang ditinggalkan. Begitu banyak orang yang mencintai Tukiman.
Mungkin baru kali itu Istri Tukiman mendapatkan uang sebanyak itu. Mereka dapat membayar utang. Putra mereka yang nomor tiga, Ridwan, dapat lulus SMK dengan nilai yang memuaskan. Sisanya, mereka bisa membeli tivi untuk hiburan.
Saat ini tubuh Istri Tukiman tak lagi sekuat dulu. Ia tak lagi memaksakan diri pergi ke ladang. Sesekali ia hanya menengok sapi yang digembalakan anaknya yang nomor empat, Adam. Mereka memang mengurus tujuh ekor sapi milik tetangga. Sesekali ia menanam sayuran di pekarangan. Selebihnya, ia bisa menonton infotainmen hingga hafal semua kasus perceraian dan pernikahan para selebritas. Setidaknya, masih ada semangat dan kebahagiaan yang ditinggalkan Tukiman untuk keluarga. Cinta keluarga dan para kerabat tak pernah mati. Begitu juga cinta Tukiman yang kerap menjenguk istrinya lewat mimpi. Meski telah pergi sejak beberapa bulan lalu, Istrinya tetap merasa Tukiman tak pernah mati.
Aku iki ora mati, maaaaakkk... aku mengko yo bali meneh...”,[ii] ucap Tukiman kepada istrinya dalam mimpi.
 
Ki-ka: Tukiman (Alm), Istri, Ridwan (anak), Anda (anak), Adam (anak), dan Suryani (cucu)



[i] Dirias/make up
[ii] Aku tidak mati, bu... nanti aku pulang lagi

4 comments

  1. Bapak Tukiman ini, siapanya mbak Rinda?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Orang baik yang kerap memberi tumpangan bermalam dan berbagi makanan, Kak. Juga berbagi cerita dan nasehat. Aku mengenalnya sekitar tiga tahun silam :)

      Delete
  2. Tepatnya di desa mana Rin?

    ReplyDelete
  3. Di Pekon Sukanegara, Kecamatan Ngambur :D

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<