Bak memegang mata pisau.
Demikian
ungkapan keprihatinan Ulumudin tentang kondisi yang ia alami sekarang setelah
menjadi anggota Koperasi Lambar Subur Rezeki. Menurutnya, petani/anggota
koperasi memegang mata pisau sementara gagangnya dipegang oleh pihak koperasi. Mereka
tidak dapat berbuat apa-apa. Alasannya klasik, mereka takut kehilangan lahan
yang selama ini telah mereka garap. Sedangkan dalam hak dan kewajibannya, petani
diwajibkan menanam segala jenis tanaman yang dianjurkan berdasarkan Rencana Kerja Umum (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan
mengikuti petunjuk teknis dalam pelaksanaannya. Selain itu mereka juga harus
menjual semua hasil produksi pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) kepada pihak koperasi. Petani yang
menjadi anggota koperasi telah terikat dan harus bersedia menanggung segala
kewajiban dan resiko.
Petani lain juga tak
berbeda nasibnya dengan Ulumudin. Gatot menanam tanaman
karet dan sawit dilahan yang digarapnya. Namun
setelah ia bergabung dengan koperasi, pihak koperasi memintanya untuk membabat
habis tanaman tersebut dan menggantinya dengan tanaman jabon. Akhirnya ia
mengajukan surat pengunduran diri dari keanggotaan koperasi yang ditandatangani
di atas materai. Ia juga mengembalikan seluruh fasilitas yang telah ia terima
dari koperasi. “Nanom khamokhak nuar malasa, kenapa harus menebang pohon nangka yang sudah bisa memberi
manfaat, sementara baru akan memulai menanam lagi?”ujar Gatot.
Tidak jauh dari
lokasi milik Gatot, terdapat lokasi pemakaman umum dan bangunan Madrasah
Ibtida’iyah (MI). Di lokasi pemakaman
tersebut, terdapat beberapa batang pohon karet dan ada pula pohon jati yang
telah ditebang pada 2011 lalu. Sama halnya dengan lokasi lainnya,
lokasi ini merupakan lahan yang direncanakan oleh koperasi untuk ditanami pohon
jabon. Disamping itu, lokasi sekolah MI yang saat ini membuat masyarakat
bingung, apakah lahan itu termasuk lahan HPT atau tanah marga. Hal ini dikarenakan
terdapat beberapa patok pembatas lahan HPT yang bergeser ke lahan garapan warga
sementara lahan tersebut juga telah diklaim akan dikelola oleh koperasi.
Menurut pengakuan
seorang warga yang enggan disebut namanya, selain memberikan
bantuan yang lebih pantas dikatakan hutang, pihak koperasi juga melakukan
kecurangan seperti penjualan pupuk palsu dan pembagian obat oles untuk
mematikan pohon. Beberapa warga yang memang terpaksa bergabung dengan koperasi
tersebut lambat laun mengumpulkan keberanian dan menyatakan mengundurkan diri
lantaran melihat ketidakberesan yang terjadi dalam tubuh koperasi tersebut.
Warga yang tidak bersedia bergabung dengan koperasi diancam tidak akan
menikmati hasil panen lahan mereka kelak dengan alasan itu adalah tanah milik
negara dan koperasilah yang memiliki hak untuk mengelola lahan tersebut.
Berbeda halnya jika
dibandingkan dengan penuturan beberapa petani yang berjuang untuk mendapatkan
izin kelola HTR secara mandiri. Istri Almarhum Mudakip
memaparkan bahwa mereka telah membuka lahan di Panji Wayang sejak tahun
1994, di lahan garapannya terdapat sekitar 646 batang
pohon karet hasil dari penanaman program padat karya (1998). Almarhum Mudakip dan isrinya berhasil menyekolahkan ketiga anak mereka
hingga perguruan tinggi dari hasil mengelola lahan seluas 4 hektar
yang kini berstatus HTR tersebut. Ia berpendapat bahwa pengelolaan secara
mandiri akan lebih dapat menyejahterakan petani, petani juga telah paham akan
pentingnya fungsi hutan sehingga mereka pun telah melakukan pengayaan vegetasi
yang ditanam dilahan mereka. Menurut Bu Mudakip, dari hasil
panen jengkol saja, ia mendapatkan omzet Rp. 1.000.000 per
panen,
petai sekali panen ia mengantongi uang Rp. 140.000, ia juga mampu menjual 250
tandan pisang setiap dua puluh hari yang senilai dengan Rp. 5.000.000 belum
lagi tanaman sela lainnya yang ia tanam sebagai peneduh yang memperkaya jenis
tanam tumbuh di lahan kelolanya. Ia juga menanam sengon dan jati putih, namun hingga kini mereka belum
berani melakukan penebangan.
Tidak berbeda jauh
dengan Dadang, warga Panji Wayang telah membuka
lahan sejak tahun 2001 silam. Ia mempunyai kebun kakao 1 hektar yang menjadi kurang produktif karena serangan beruk. Ia juga
mendpatkan hasil sekitar Rp. 700.000 per bulan dari karet yang baru mulai sadap
seluas 3 hektar. Tanaman lain yang tidak kalah menghasilkan adalah 30 batang
jengkol yang mampu menghasilkan 5 kwintal sekali panen. Dadang juga menanam 400
batang jati kapur, sengon, dan damar yang baru berumur 3 tahun. Ia
menilai, program pemerintah yang sebelumnya selalu berubah-ubah telah membuat
para petani menebang habis tanam tumbuh yang mereka tanam sebelumnya. Selama
ini para petani tersebut telah mengelola lahan secara swadaya, dan hal itu
cukup dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga jika ingin melaksanakan program
HTR pola mandiri maka harus disosialisasikan hak dan kewajiban masyarakat dalam
menggarap HTR swadaya tersebut. Demikian halnya jika akan bermitra dengan pihak
investor, harus ada kesepakatan yang dapat saling menguntungkan bagi kedua
belah pihak.
Di
Wilayah Bengkunat terdapat lokasi HTR yang semula dibebani izin Sementara Hutan
Kemasyarakatan (HKm) hingga Mei 2012 silam. Di
sana terdapat tanam tubuh berupa buah-buahan, kopi, kakao,
pinang, tanaman kayu (cempaka, sengon, Afrika),
dan damar. Lahan yang digarap oleh Mahmudi, misalnya, meskipun damarnya belum
dapat disadap/dipanen, lahannya telah menghasilkan pinang dan kopi yang telah
tersertifikasi oleh lembaga sertifikasi internasional, Reinforest Alliance. Dari lahan dikelompoknya pula telah dihasilkan
kopi dengan klasifikasi mutu yang berbeda-beda. Namun sertifikasi tersebut hanya berlaku selama
dua tahun dan hingga kini masyaeakat belum dapat mengajukan audi ulang karena
belum adanya legalitas lahan pasca izin HKm habis. Menurutnya, komoditas kopi
yang terserifikasi dapat dijual kepada perusahaan eksportir dengan harga
sedikit lebih tinggi ditambah Rp. 350 per kilonya.
Aktivitas Petani Kopi di Sukamaju |
Pengelola HKm lainnya,
Rohmat, memaparkan bahwa saat ini pengepul kopi tidak membeda-bedakan kualitas
biji kopi. Semua kopi baik itu petik merah atau serampangan, organik maupun
non-organik, semuanya dibeli dengan harga Rp. 19.000 per kilo. Padahal dahulu
mereka mampu menerapkan pertanian organik untuk meningkatkan kualitas dan harga
jual hasil panennya.
Lahirnya Kebijakan HTR
Kebijakan ini muncul
karena berbagai kondisi kehutanan di Indonesia yang semakin memburuk. Terutama
ketimpangan kapasitas terpasang industri pulp dengan kemampuan pasokan bahan
baku yang mereka punyai. Indonesian
Working on Forest Finance (IWGFF) dalam hasil studinya pada 2010 mencatat bahwa dalam enam tahun
terakhir setelah sejarah pembangunan hutan tanaman yang telah berlangsung
selama lebih dari dua dekade, ternyata kemampuan pasokan bahan baku dari hutan
tanaman pertahunnya hanya sebesar ± 46 persen, kekurangannya masih mengandalkan
pasokan dari hutan alam ± 54 persen, atau rata-rata sekitar 15,5 juta m3
setiap tahun bagi industri kehutanan. Kemunduran industri
kehutanan Indonesia melatarbelakangi lahirnya program revitalisasi kehutanan
yang digagas untuk membangkitkan lagi sumbangan industri ini kepada negara.
Pelaksanaan Program
HTR di Lampung Barat yang saat ini telah memisahkan diri menjadi Kabupaten
Pesisir Barat
mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.47/Menhut-II/2010 tanggal 15
Januari 2010 tentang Pencadangan Areal HTR di Kabupaten Lampung Barat Provinsi
Lampung dengan luas areal yang dicadangkan adalah 24.835 hektar.
Dari luasan areal pencadangan tersebut berdasarkan kajian Dirjen Planologi/BPKH
Wilayah II Palembang, seluas 22.772 hektar.
dipandang layak untuk dijadikan kawasan HTR di kawasan tersebut.
Kabupaten
Pesisir Barat merupakan kabupaten termuda di Provinsi
Lampung. Pesisir Barat merupakan hasil pemekaran Kabupaten Lampung Barat, yang disahkan
pada tanggal 25 Oktober 2012 melalui UU No.22
tahun 2012. Menurut Undang-Undang tersebut, kabupaten ini terdiri atas 11 (sebelas)
kecamatan, yaitu Kecamatan Pesisir Tengah, Kecamatan Pesisir Selatan, Kecamatan
Lemong, Kecamatan Pesisir Utara, Kecamatan Karya Penggawa, Kecamatan Pulau
Pisang, Kecamatan Way Krui, Kecamatan Krui Selatan, Kecamatan Ngambur,
Kecamatan Bengkunat, dan Kecamatan Bengkunat Belimbing. Kabupaten Pesisir Barat
memiliki luas wilayah keseluruhan ±2.907,23 km dengan jumlah penduduk sebesar
±136.370 jiwa pada tahun 2011 dan 117 (seratus tujuh belas) desa/kelurahan.
Pasal 54 ayat (1) PP
No. 6 Tahun 2007 menentukan bahwa jangka waktu IUPHHK pada HTR, diberikan
paling lama 100 (seratus) tahun dengan evaluasi sekali dalam 5 (lima) tahun
dan dapat diperpanjang sekali periode
perizinan. Izin ini dapat diberikan
kepada perorangan atau koperasi.
Koperasi Jenggot : Permasalahan dalam Implementasi HTR
Dilapangan, ternyata
implementasi HTR tidak semudah yang diperkirakan. Banyak masalah-masalah yang muncul menyangkut areal yang bebas dari
peruntukan atau perizinan dan kelompok penerima izin HTR tersebut.
Ade Hendra, Staff BP2HP
yang menangani HTR memaparkan bahwa pihaknya telah mengeluarkan izin
beroperasinya delapan koperasi di Pesisir Barat. Kepada koperasi yang telah
terlebih dahulu mendapatkan izin, pihaknya juga telah melakukan evaluasi dua
tahunan. Sedangkan dua koperasi baru saja dikeluarkan izinnya beberapa hari
sebelum tulisan ini dibuat.
Sumber data: BP2HP Wilayah VI Bandar Lampung (diolah) |
Fasilitator HTR sekaligus Sekretaris Koperasi Labuai Lestari, Siddiq,
mengatakan bahwa koperasi binaannya telah mendapatkan BLU sebanyak 2,5 milyar.
Pihaknya telah melakukan penanaman jabon dan sengon pada lahan seluas 200 hektar.
Pihaknya mendapatkan hibah dari International Tropical Timber Organization (ITTO)
dalam hal pelatihan pengelolaan lahan dan pembibitan. “Untuk dana BLU tidak ada
alokasi untuk pemetaan dan persiapan perizinan. Dana BLU hanya untuk
pembibitan, penanaman, perawatan tanaman,”kata Siddiq.
Menanggapi masalah seretnya implementasi HTR di lapangan, Sapuan, Kepala
Bidang Kehutanan Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan Kabupaten Lampung
Barat mengakui bahwa masalah tersebut timbul akibat kurangnya komunikasi antara
pemerintah, koperasi pemegang izin, dan masyarakat pengelola. Ketika ditemui di
kediamannya, pria parah baya itu mengatakan bahwa di dalam wilayah HTR tidak
boleh dan saat ini memang tidak ada tanaman sawit di dalamnya. “Pengelolaan HTR
dapat dilakukan melalui tiga skema, yaitu, mandiri melalui Gapoktan, kemitraan,
dan developer. Nah, koperasi terdiri dari beberapa kelompok yang memiliki
sandaran hukum agar dapat memfasilitasinya dengan pembiayaan,” katanya.
Ichwanto M. Nuh selaku
Koordinator Tim Advokasi HTR Pesisir Barat memaparkan bahwa timnya telah
menemukan kejanggalan-kejanggalan dalam proses perizinan Koperasi Lambar Subur
Rejeki dan Koperasi Sinar Selatan. Tim yang terdiri dari Tim Peduli Pengekahan,
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung, dan Kawan Tani tersebut menemukan
bahwa di dalam
dokumen IUPHHKHTR untuk Koperasi Lambar Subur Rezeki yang berdiri pada 20 Mei
2010, Bupati Lampung Barat (ketika itu belum ada pemekaran
wilayah)
memberikan IUPHHKHTR dalam hutan tanaman melalui SK Nomor B/296.a/KPTS/II.11/2010 kepada Koperasi Lambar Subur Rezeki seluas ±
8.000 Ha di Kabupaten Lampung Barat. Koperasi tersebut berdiri pada tanggal 20
Mei 2010 (Akte No. 123/BH/X.4/II.06/V/2010), sedangkan surat permohonan
IUPHHKHTR kepada Bupati Lampung Barat dilayangkan pada tanggal 24 Mei 2010.
Sementara surat keputusan bupati terbit pada tanggal 21 Oktober 2010. Dalam hal
ini dapat dilihat bahwa rentang waktu tersebut terlampau singkat, sedangkan
surat rekomendasi pertain (Kepala Desa) seperti yang disebutkan dalam SK
Bupati tertanggal 27 dan 28 Mei 2010. Demikian juga dengan pertimbangan teknis
(verifikasi) Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH)
tertanggal 5 Agustus 2010 dan pertimbangan teknis Kepala Balai Pemantauan
Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP) Wilayah VI tertanggal 18 Agustus 2010.
Artinya, surat rekomendasi tersebut tidak disertakan sebagai lampiran dokumen
sewaktu mengajukan IUPHHKHTR.
Tim tersebut juga
menduga adanya
mobilisasi/ penyeragaman tanggal dikeluarkannya rekomendasi oleh peratin. Selain
itu ada manipulasi dalam pendirian Koperasi Lambar Subur Rezeki, dimana para
pendiri merupakan pejabat pemerintah, seperti; camat, peratin, kepala UPTD
Kehutanan setempat, serta kerabat bupati, dan ada juga alamat yang salah.
Adanya
rekomendasi/verifikasi yang diterbitkan oleh BP2HP Lampung yang digunakan oleh
Koperasi Sinar Selatan tidak sesuai peruntukannya sebagai contoh, pada
butir k). pertimbangan teknis
(verifikasi) Kepala BPKH Wilayah II Nomor S.297/VII-BPKH.II/2/2010, tanggal 5
Agustus 2010, Perihal: Hasil verifikasi kawasan hutan terhadap areal permohonan
IUPHHK-HTR kepada Koperasi Lambar Subur Rezeki dan peta lampirannya Skala
1:50.000; l). Pertimbangan Teknis (verifikasi) Kepala Balai Pemantapan Kawasan
Hutan (BPKH) Wilayah II Nomor S.298/Vll-BPKH./II/2/2010 tanggal 5 Agustus 2010,
Perihal Hasil verifikasi kawasan hutan terhadap areal permohonan IUPHHK-HTR
Kepada Koperasi Lambar Makmur Sejahtera dan lampirannya Skala 1:50.000; n)
Pertimbangan Teknis Kepala BP2HP Wilayah VI Nomor
S.937/BPPHP.VI-3/2010 tanggal 18 Agustus 20l0, Perihal: hasil verifikasi
administrasi dan areal terhadap areal permohonan IUPHHKHTR kepada Koperasi
Lambar Makmur Sejahtera; o) Pertimbangan Teknis Kepala BP2HP
Wilayah VI Nomor S.938/BPPHP.VI-3/2010 tanggal 18 Agustus 2010, Perihal hasil
verifikasi administrasi dan areal terhadap areal permohonan IUPHHKHTR kepada
Koperasi Lambar Subur Rezeki.
Disamping itu, surat
rekomendasi peratin kepada Koperasi Lambar Subur Rezeki sebagai persyaratan
pengajuan IUPHHKHTR. Di dalam SK tersebut tertulis adanya rekomendasi Peratin
Negeri Ratu Ngambur Kecamatan Ngambur No. 470/473/18041602/V/2010 pada butir
(b) tertanggal 27 Mei 2010, sedangkan pada butir (c) tertanggal 28 Mei 2010
untuk rekomendasi dari peratin yang sama dengan nomor surat yang sama pula.
Di Pekon Pagar
Bukit, Kecamatan Bengkunat Belimbing, Pada tanggal 2 Maret 2011, Asep Ahmad
Hamidi, peratin setempat mengeluarkan surat pencabutan rekomendasi yang semula
ia berikan sebagai syarat perizinan pengelolaan lahan HTR oleh Koperasi Lambar
Subur Rejeki. Dalam suratnya ditegaskan bahwa warganya merasa koperasi tersebut
hadir tanpa memenuhi keinginan warga. Warga menginginkan SIUPHHK-HTR sebagai
izin perorangan, bukan milik koperasi sepenuhnya. Ia mengaku ketika membuat
surat rekomendasi, ia belum sepenuhnya memahami peraturan dan ketentuan
pengelolaan lahan HTR dan tidak diberi penjelasan dari pihak koperasi atau
dinas terkait tentang perbedaan izin koperasi dan izin perorangan.
Peta Konsesi HTR Pesisir Barat (Sumber: GIS Watala) |
Pada dokumen Rencana
Kerja Tahunan (RKT) tahun 2011, menurut Ichwanto, pada data
anggota pendiri Koperasi Lambar Subur Rezeki terdapat ketidaksesuaian antara
nama anggota kelompok, alamat, dan pekerjaan. Misalnya R. Prabawa sebagai Ketua
Koperasi dalam RKT disebutkan bahwa ia tinggal di Tanjung Kemala, sementara ia
tinggal di Bandar Lampung. Ada juga upaya pembiasan pekerjaan seperti Drs.
Nizom, MM yang juga kerabat (ipar) Bupati Lampung Barat disebutkan sebagai PNS,
bukan sebagai Camat Bengkunat Belimbing. Sementara Edy Mukhtar yang tinggal di
Pekon Rawas, Kecamatan Pesisir Tengah dan menjabat sebagai Camat Pesisir Tengah
juga disebutkan sebagai PNS. Kifrawi disebutkan sebagai petani, sementara ia
menjabat Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kehutanan Kecamatan Ngambur Lampung Barat ketika itu. Bahkan
Peratin Pagar Bukit, Asep Ahmad H. ikut disebut-sebut sebagai pendiri koperasi
sementara ia sendiri mengaku tidak tahu menahu mengenai pencatutan namanya itu
karena ia juga menolak keberadaan koperasi dan telah mencabut surat rekomendasi
yang sebelumnya ia berikan.
Sementara Koperasi Sinar Selatan, dalam Surat
Keputusan Bupati Lampung Barat nomor B/319/KPTS/II.11/2010 mendapatkan
IUPHHKHTR dalam hutan tanaman seluas ± 3.115 Ha di Kabupaten Lampung Barat.
Koperasi Sinar Selatan Berdiri pada tanggal 2 September 2010, sedangkan surat
permohonan IUPHHKHTR diajukan pada tanggal 20 September 2010. Kemudian pada
tanggal 16 November 2010, Bupati Lampung Barat telah mengeluarkan SK kepada
Koperasi Sinar Selatan. Padahal, surat Rekomendasi Peratin baru dikeluarkan pada
tanggal yang sama yaitu tanggal 22 September 2010.
Dalam butir (k) SK
Bupati Lampung Barat terdapat pertimbangan teknis kepala BPKH Wilayah II No.
S.297/VII-BPKH.II/2/2010 tertanggal 5 Agustus 2010 perihal hasil verifikasi
kawasan hutan terhadap area permohonan IUPHHKHTR kepada Koperasi Lambar Subur
Rejeki dan No. 298/VII-BPKH.II/2/2010 kepada koperasi Lambar Makmur Sejahtera
(butir (l)). Pada butir (m), terdapat nomor yang sama dengan butir (l) yaitu
298/VII-BPKH.II/2/2010 mengenai pertimbangan teknis Kepala BPKH tanggal 5
Agustus 2010 tanpa dijelaskan objek verifikasinya. Verifikasi yang dilakukan
oleh BPKH dan pertimbangan teknis yang dilakukan oleh BP2HP untuk Koperasi
Lambar Subur Rejeki dan Koperasi Lambar Makmur Sejahtera tetapi izin dikeluarkan
atas nama Koperasi Sinar Selatan. Mengenai hal tersebut, Ketua Koperasi Sinar
Selatan, Khaidir, dalam Rapat Hearing
dengan Komisi II DRPD Provinsi Lampung, 5 November 2011 lalu beralasan
bahwa ketika itu pihaknya mengajukan lahan HTR seluas ±4.365 Ha, ketika BPKH
melakukan verifikasi ke lapangan, ternyata terdapat ±1.200 Ha lahan yang
diusulkan oleh Koperasi Sinar Selatan telah di verifikasi sebelumnya oleh BPKH
atas nama koperasi lain tanpa sepengetahuan peratin dan masyarakat.
Koperasi penerima
izin tidak melakukan sosialisasi di masyarakat, hal ini yang
kemudian menimbulkan gesekan antara koperasi dan masyarakat pemanfaat kawasan
HPT. Menurut Syaiful Hadi, Ketua Gerakan Rakyat Tani Mandiri
(GraTaM), kalaupun
sosialisasi dilakukan, telah terjadi penyimpangan informasi kepada masyarakat,
misalnya mobilisasi yang masyarakat dilakukan karena akan ada bantuan bagi
masyarakat (berupa tank penyemprot dan
obat-obat pertanian) dengan syarat masyarakat diminta menyerahkan
fotocopy KTP tetapi pada realisasinya hal itu justru dijadikan alat legetimasi
dan pemenuhan pra-syarat pengajuan izin saja. Ironisnya lagi jauh sebelum SK
Bupati Kabupaten Lampung Barat dikeluarkan terhadap Koperasi Lambar Subur Rejeki dan Koperasi Sinar Selatan masyarakat
sudah pernah mengajukan izin perorangan melalui Dinas Kehutanan Kabupaten
Lampung Barat pada tanggal 18 Juni 2010, sebanyak 18 Kelompok Tani Hutan (KTH),
14 Juli 2010 sebanyak 29 KTH dan 9 Agustus 2010 untuk 40 KTH dari Kecamatan
Bengkunat dan Kecamatan Bengkunat Belimbing, kemudian diteruskan ke BP2HP
tanggal 12 Agustus 2010 namun tidak ada tindaklanjut dari proses perijinan
tersebut hingga kini.
Beberapa kekhawatiran
terhadap skema HTR saat ini adalah jenis tanaman yang akan dikembangkan, adanya
aturan yang menyatakan ijin gugur apabila pemegang ijin meninggal dunia,
khususnya di Pesisir Barat dikhawatirkan yang akan banyak diminati adalah HTR
pola developer sehingga manfaat yang dirasakan oleh masyarakat akan sangat
kecil.
“Koperasi yang ada
pertama kali di Pesisir Barat adalah “Koperasi Jenggot” yang tumbuh dari atas
ke bawah. Mereka tidak lain seperti developer yang memang belum kenal dengan
petani yang telah mengelola di kawasan tersebut,” Ujar Ade Hendra. “Jadi
sosialisasi belum sampai ke level petani. Tapi action mereka sudah terlihat di spot-spot
tertentu, khususnya Koperasi Sinar Selatan,” lanjut Ade Hendra.
Koperasi-koperasi
semacam ini setelah dievaluasi oleh BP2HP masih diberi pemakluman. Hal ini
dikarenakan aktivitas mereka masih terus dikembangkan meski bertahap. Dua koperasi
yang mati suri, Lambar Subur Rejeki dan Sinar Selatan, Ade Hendra menilai bahwa
pihaknya mudah saja untuk melakukan
pencabutan izin. Masalahnya adalah setelah dicabut, akan diapakan kawasan
terebut. Tanggungjawab BP2HP dan Dinas juga nantinya akan dipertanyakan. Sampai
sejauh apa pembinaan dinas hingga ada pemegang izin yang dicabut kembali
izinnya.
HTR dan Keamanan Tenure Rakyat atas Hutan
Dari praktek yang telah dilakukan oleh koperasi penerima
izin Program HTR ini justru menjadi ancaman terlihat dengan praktek olah lahan
(tebang dulu, baru tanam) dan masyarakat kehilangan hak kelolanya. Selain itu
pada lembar Pada MoU, pada pasal 4 (empat) koperasi membatasi petani untuk
mengelola lahan maksimal 2 Ha. Sementara faktanya dilapangan, banyak petani
yang memiliki lahan hingga 4 (empat) Ha. Pada pasal 5 terdeteksi adanya upaya
pemiskinan masyarakat dengan kewajiban petani menjual semua hasil panennya
kepada koperasi termasuk tanaman rakyat dan tumpang sari. Pada poin tugas dan
tanggungjawab pihak ketiga, dikatakan bahwa petani bertanggungjawab penuh
tanggung renteng pada kegagalan dan segala resiko yang ditanggung koperasi,
padahal seharusnya hal tersebut ditanggung oleh koperasi.
Dalam penelusuran dokumen yang dilakukan
oleh Tim Advokasi HTR Mandiri, ditemukan adanya surat pernyataan pinjaman
atas nama petani/kelompok tani kepada Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Pinjaman
tersebut bukan atas nama koperasi melainkan atas nama petani/kelompok tani
dengan pengajuan syarat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP), surat keterangan
domisili, dan sebagainya. Dari sisi tenurial, masyarakat tidak mendapatkan
jaminan keamanan tenure dengan penyerahan lahan sepenuhnya kepada koperasi.
bahkan koperasi pun menginventarisasi tanam tumbuh yang ada dalam lahan
tersebut.
Koperasi
memiliki kewenangan penuh terhadap pengelolaan dan penguasaan lahan (masyarakat hanya dijadikan objek/pelaksana
lapangan). Paradigma pengelolaan hutan oleh Negara (state based forest management) merupakan sebuah kebijakan yang
mengabaikan hak-hak masyarakat selain meningkatnya deforestasi dan degradasi
sumber daya hutan di Indonesia.
Namun ternyata, perubahan paradigma tersebut menjadi community based forest management juga
tidak serta merta dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat sekitar hutan
dalam mendapatkan akses kelola hutan. Setelah sekian lama pemerintah
menggulirkan beberapa program yang pada hakikatnya adalah memberikan hak akses
bagi masyarakat untuk mengelola hutan negara, sebut saja tumpangsari,
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Hutan Kemasyarakatan (HKm) hingga
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pada tahun 2007.
Sesuai dengan Permenhut No. 55 tahun 2011, terdapat batasan lahan yang dikelola oleh suatu badan hukum hanya seluas
maksimal 700 hektar. Namun pada kenyataannya beberapa koperasi mempunyai izin
untuk luas lahan lebih dari 700 hektar. “Izin itu keluar sejak aturan batasan
lahan belum ada. Jadi tidak masalah karena aturan itu tidak berlaku surut,”
kata Siddiq.
Sedangkan mengenai tumpang
tindih kebijakan, Sapuan menilai bahwa tidak ada kebijakan diatas
kebijakan di lapangan. “HKm diberikan di hutan lindung, sementara HTR diberikan
di hutan produksi. Sementara di Pesisir Barat tidak ada hutan adat. Hutan adat
ditumbuhi pohon-pohon yang tidak ada kaitannya dengan negara,” jelas Sapuan.
“Lalu mengenai Kawasan Dengan Tujuan Istimewa (KDTI) masyarakat tidak bisa
serta merta merusak kebun damar yang sudah ada sejak zaman Belanda. Adanya HTR justru
memperkuat kedudukan KDTI.”
KDTI, sebagaimana Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :
47/Kpts-II/1998 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi
Terbatas seluas +/- 29.000 (Duapuluh Sembilan Ribu) Hektar, di Kelompok Hutan
Pesisir, di Kabupaten Pesisir Barat, yang telah Merupakan Repong
Damar dan Diusahakan oleh Masyarakat Hukum Adat, sebagai KDTI. Hak Pengusahaan
Repong Damar dalam KDTI, diberikan kepada masyarakat hukum adat.
HTR dan Kesejahteraan Masyarakat
Dalam kaitannya dengan peningkatan kesejahtaraan
masyarakat, program ini belum memperlihatkan hasil yang nyata. Pasalnya, belum
ada pengaruh pendapatan sebagai upah penanaman oleh koperasi perusahaan ataupun
bagi hasilnya sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati antara pihak
perusahaan dan anggota koperasi. Pengelolaan lahan dengan sistem koperasi
dirasa lebih baik daripada pola mandiri.
Mengenai peran HTR dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pengelola, Sapuan mengatakan bahwa saat ini belum
terlihat karena belum ada kegiatan di HTR. “Saat ini masyarakat berstatus
perambah dan harus diberi sanksi hukum. Tapi pembangunan ini berpihak pada
masyarakat. Agar masyarakat mempunyai legalitas maka diberikan izin. Nah, dari
sini HTR dikatakan mampu meredam konflik,” papar Sapuan.” Selain itu HTR juga
meningkatkan taraf hidup karena tanaman kayu yang berumur pendek seperti jabon tidak
memerlukan pemeliharaan. Seperti sekarang ini, sebelum pohon menutupi lahan,
masyarakat bisa mengusahakan tanaman dibawahnya,” lanjutnya.
Jalan Setapak di Kawasan Bekas HKm Sukamaju |
Semangat
diluncurkannya Program HTR ini adalah bagaimana masyarakat dapat meningkatkan
taraf hidupnya (secara ekonomi) dengan tidak mengabaikan sektor konservasi,
tetapi pada prakteknya dengan diberikannya IUUPHHK-HTR kepada koperasi yang
tidak dibentuk oleh rakyat justru akan memiskinkan rakyat, terlihat jelas
dengan sistem bagi hasil 60% - 40 % untuk tanaman kayu dirasa tidak adil karena
masyarakat masih dibebani dengan utang dan pembayaran utang tersebut akan
diambil dari persentase bagi hasil petani (60%).
Ketentuan lainnya
yang mengikat anggota koperasi antara lain tanam tumbuh yang telah ada menjadi
asset pemegang izin dalam hal ini adalah koperasi, wewenang pengelolaan
sepenuhnya ada dikoperasi dimulai dari perencanaan, penentuan jenis tanaman,
olah tanah sampai dengan pemasaran, dan pembatasan luas wilayah kelola (masing
– masing maksimal 2 Ha) serta masyarakat yang saat ini mengelola lahan tersebut
akan dengan dengan sukarela menyerahkan lahannya kepada pihak koperasi apabila
dinilai keluar dari aturan yang telah ditentukan oleh koperasi tersebut.
Koperasi Lambar Subur
Rezeki juga menawarkan adanya sistem bagi hasil untuk produk tumpang sari
sebanyak 60:40. Artinya, 60% hasil penjualan produk menjadi hak petani/kelompok
dengan dikurangi 5% sebagai simpanan wajib pada bank yang ditunjuk koperasi.
Sedangkan 40% hasil penjualan menjadi hak koperasi 10%, dana cadangan 2%, UPK
1,5%, infrastruktur desa 1,5%, dan investor mitra (dalam hal ini PT Anugerah
Subur Sejahtera) 25%. Sementara itu, untuk produk tanaman pokok, hasilnya 45%
untuk petani, dan 55% sisanya sebagai hak koperasi 10%, dana cadangan 3%, UPK
0,5%, infrastruktur desa 1,5%, dan investor mitra 40%.
Hal ini jelas
merugikan petani. Pasalnya, pinjaman yang diberikan oleh pihak koperasi
sepenuhnya harus dikembalikan oleh petani. Termasuk biaya buka lahan, biaya
pemeliharaan, pengadaan bibit, dan sebagainya. Sementara petani membutuhkan
biaya untuk pengolahan lahan dan makan sehari-hari.
Petani
yang Tak Berhenti Berharap
Menurut Sapuan,
sertifikasi sulit diberikan kepada petani secara perorangan. Mereka harus
mempunyai alas hak yang benar. Surat Keterangan Tanah (SKT) yang saat ini
dipegang oleh petani hanya dibuatkan oleh peratin. SKT tersebut tidak terdaftar
di kecamatan sehingga kecil kemungkinan diberikan izin.
“Kami masih terus
berupaya dan berjuang untuk mendapatkan izin HTR secara mandiri. Bukan melalui
koperasi,” ujar Aryo. Warga Pekon Tatasan ini lahannya telah tercatut izin
koperasi yang dia sendiri lupa namanya. Hingga kini tidak aktivitas dari
koperasi tersebut setelah peratin bersama dengan seseorang yang mengaku pihak
Dinas Kehutanan meminta tandatangan dan fotokopi KTP yang belakangan diketahui
sebagai syarat pembentukan koperasi.
Demikian juga dengan
para petani di Dusun Panjiwayang, Pekon Ulok Mukti, Kecamatan Ngambur. Menurut penuturan istrinya, Mudakip hingga ajalnya beberapa bulan lalu
menitipkan pesan kepada isti dan rekan-rekannya untuk selalu memperjuangkan
tanah garapannya agar jangan direnggut oleh koperasi. “Kalau ada kabar-kabar tentang HTR ini ya, Mbah dikabari. Sekarang, kan,
saya ya berlaku sebagai ibu rumah tangga sekaligus kepala rumah tangga
menggantikan Mbah Dakip,” Ujar Bu Mudakip mantap.
Meski belum beralas
hukum, para petani pengelola masih tetap dapat beraktivitas di kawasan HTR.
Meski disebut sebagai perambah, mereka tetap yakin bahwa kelak izin yang mereka
idam-idamkan akan mempu mereka genggam. “Sekarang ini kami tetap berusaha di
HTR. Kami menanam kopi, kakao, dan tanaman lain yang dapat dijual meski tanpa
sertifikasi. Harga tidak terlalu menjadi masalah ditingkat pengumpul.” Kata
Mahmudi.
Saat ini mereka telah
berencana menambah vegetasi dengan beberapa tanaman kayu dan mengusahakan
tanaman sela. Mereka juga akan menanam pala yang juga merupakan tanaman
konservasi sekaligus dapat diambil buahnya dan dijual. Biar bagaimanapun para
petani pengelola tidak rela lahannya dicaplok oleh koperasi. Apalagi mereka
harus berbagi hasil dari tanam tumbuh yang telah diusahakan dengan tiap tetes
keringat mereka dengan orang lain.
Mereka
menilai bahwa HTR merupakan produk kebijakan yang gagal. Kegagalan
implementasi suatu kebijakan terkadang bukan saja akibat manajemen
yang buruk. Lebih
dari itu, suatu kebijakan bisa saja menjadi tidak efektif karena birokrasi
ditingkat bawah tidak mampu melaksanakannya terlebih tanpa pengawasan yang
ketat dari otoritas pusat. Pemberian wewenang kepada bupati untuk mengatur dan
memberikan IUPHHKHTR bertujuan memutus rantai hierarki proses perizinan
sehingga memudahkan masyarakat untuk mendapatkan IUPHHKHTR. Namun Karena tidak
adanya kontrol dari pusat yang berkaitan erat pula dengan ketidaksiapan
masyarakat didaerah terkait otonomi yang dimiliki oleh pemerintah daerah
menyebabkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah terkesan otoriter dan
cenderung tidak sinergi dengan aturan lain yang berkorelasi langsung pada kasus
yang tersebut.
ini dia tanjakan mayit..
ReplyDelete