Sejak kecil saya tinggal di sebuah
desa yang jauh dari kota. Desa yang
menyimpan kenangan masa kecil saya itu bernama Desa Bumirestu yang
terletak di ujung Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan. Dulu orang tua saya
berencana pindah dari sana, tapi semua itu tinggalah rencana karena sampai saat
ini kami masih tinggal disana.
Masyarakat asli desa kami kebanyakan
adalah buruh tani. Banyak juga yang mempunyai lahan pertanian sendiri.
Masyarakat pendatang rata-rata berprofesi sebagai guru dan petugas kesehatan.
Desa kami mampu menghasilkan
berton-ton padi dan jagung. Itu sebabnya banyak truk berseliweran disaat panen.
Mereka akan mengangkut hasil pertanian ke kota. Sayangnya, jalanan di sana
tidak dibuat sesuai peruntukannya. Alhasil, aspalnya cepat sekali rusak.
Saya ingat betul kapan terakhir
kalinya kami menikmati jalanan bagus. Kalau tidak salah sekitar tahun 2003.
Waktu itu saya masih SMP dan bersekolah mengendarai sepeda jenki. Ketika jalan raya selesai diperbaiki, saya dan kawan-kawan
beradu kecepatan bersepeda ketika pulang sekolah. Maklum saja, kami memang
sudah terbiasa menikmati aspal jalanan yang rusak. Jadi kami keheranan dan
senang sekali jalanan desa kami diperbaiki.
Desa kami berada sekitar dua puluh
kilometer dari Jalan Lintas Sumatera. Wajar saja kami sangat terisolir. Tidak
ada angkutan umum yang mau masuk daerah kami. Selain masyarakat kami jarang
bepergian jauh, jalan rusak juga menjadi penghambat masuknya akses angkutan
massal. Akibatnya kami harus mempunyai kendaraan sendiri. Dalam satu rumah,
biasanya masyarakat desa kami mempunyai dua buah sepeda motor. Kebanyakan dari
mereka membelinya secara kredit, menggunakan sepeda motor tua atau sepeda
motor bodong.
Selain untuk pergi ke sawah dan
mengangkut hasil panen, sepeda motor sangat dibutuhkan oleh anak-anak untuk
pergi ke sekolah yang jaraknya jauh dari
rumah. Meski di depan rumah saya juga terdapat Madrasah Aliyah dan SMA, tapi
saya dan beberapa kawan memilih melanjutkan SMA di Ibu Kota Kabupaten. Untuk
mencapai sekolah, kami harus menaiki sepeda motor dan menempuh jarak lebih
kurang dua puluh lima kilometer. Adik saya pergi ke sekolah di Kota dengan
mengendarai sepeda motor dari rumah kemudian menitipkan motornya di desa yang
sudah ada akses angkutan pedesaan. Tidak jarang juga kawan-kawan yang
mengontrak kamar di sekitar sekolah atau kampus mereka agar tidak terlalu capek
dan memakan biaya. Jika hujan turun, kami harus melawan hujan dan bobroknya jalan. Jika musim kemarau datang, kami harus kenyang menghisap debu, mengucek mata, sekaligus menyedot emisi dari kendaraan-kendaraan tua yang sebenarnya sudah tidak layak jalan lagi.
Jangankan aspal jalan di desa, Jalan
Lintas Sumatera yang harus kami tempuh jika kami akan ke pelabuhan, bandara,
dan Kota Bandar Lampung saja kondisinya rusak parah. Terlebih jika hujan
melanda, kubangan air seperti danau dimana-mana. Tentu saja hal ini menghambat
distribusi berbagai komoditas dan membahayakan pengendara.
Aspal jalanan yang rusak merupakan
keluhan masyarakat yang utama. Infrastruktur jalan merupakan kebutuhan pokok
bagi terlaksananya berbagai macam aktivitas, baik ekonomi, pendidikan, maupun
sosial. Sudah tak terhitung lagi banyaknya pihak yang menanamkan harapan palsu
bagi masyarakat desa kami. Sayangnya, Presiden SBY, Jokowi, dan para pengurus negara ini tidak pernah
menginjakkan kaki di Bandar Lampung melalui jalur laut. Sehingga mereka tidak
merasakan tubuh pegal, kendaraan rusak, bahkan menjadi saksi atau mengalami
kecelakaan ketika melewati Jalan Lintas Sumatera. Apalagi menikmati nyamannya jalanan di
desa kami.
Masyarakat kami sudah apatis dengan
buaian janji ini-itu. Padahal di desa kami ada satu orang anggota DPRD Propinsi
yang kini telah mengundurkan diri. Kami kurang tahu alasan pengunduran dirinya
apa. Ada juga anggota DPRD Kabupaten yang saat ini mencalonkan diri kembali.
Masyarakat tidak mau tahu mereka duduk di komisi mana di gedung DPR. Masyarakat
terlanjur menaruh harapan. Setidaknya mereka mampu memperjuangkan apa-apa yang
menjadi hak warganya. Karena masyarakat pula mereka terpilih dan bisa duduk
sebagai anggota dewan yang terhormat.
Alih-alih memperhatikan keluhan dan
peka terhadap masyarakat desa kami, cara-cara yang arif dalam berkampanye juga
nampaknya tidak dipedulikan. Banyak sekali pelanggaran yang dilakukan oleh tim
sukses pemenangan para calon legislatif (Caleg). Seharusnya mereka mampu
mengedukasi tim suksesnya untuk tidak melanggar aturan yang berlaku.
Di depan rumah saya di tanam
beberapa pohon palm. Harapannya jalanan desa kami yang rata rusaknya dapat
diperbaiki pemandangan dan keasriannya oleh pohon-pohon dipinggir jalan
tersebut. Tapi mereka yang tidak menanam malah memaku pohon-pohon itu dan
menempelkan atribut kampanye yang menampilkan wajah para Caleg bak model cover majalah. Selain tidak izin dalam
melakukan pemasangan, mereka juga telah melakukan pelanggaran aturan kampanye
dan eco-terorism tree spiking. Mereka
jahat. Dengan pohon saja jahat apalagi dengan manusia.
![]() |
Atribut kampanye di lingkungan pondok pesantren |
![]() |
Pemandangan di Depan Salah Satu Gedung Sekolah Dasar |
Parahnya lagi, mereka juga melakukan
penempelan atribut kampanye di pohon-pohon di depan sekolah. Atribut kampanye
itu sudah barang tentu diletakkan di tempat yang salah. Meski saya bukan
anggota dewan atau calon anggota dewan, tapi sekiranya saya tahu mana yang
benar dan salah. Sampah-sampah visual itu selain mengganggu pemandangan juga
membahayakan para pengguna jalan raya yang sudah rata rusaknya itu.
Wajar saja jika rakyat menjadi
apatis. Politik uang sana-sini dan berbagai kelakuan keji sudah dianggap hal
menjijikkan bagi sebagian masyarakat. Tidak heran jika Pemilu bukan lagi ‘pesta
demokrasi’ bagi rakyat, melainkan pesta perayaan penderitaan rakyat periode
berikutnya. Jika golput atau tidak mencoblos dikhawatirkan surat suaranya akan
dicurangi, maka beberapa masyarakat memilih abstain. Mereka khawatir tidak bisa
mempertanggungjawabkan apa yang dipilihnya dan belum siap sakit hati. Sudah
cukup masyarakat kami dikibuli.
Sepuluh tahun kami menikmati jalanan
rusak dan hingga kini fasilitas komunikasi pun sulit. Jika iklan di televisi
saja bisa bicara bahwa internet sangat penting, desa kami bahkan minim jaringan. Untuk sekedar mengingatkan makan bagi saya diperantauan saja Ibu
harus mencari sinyal di depan rumah, di kandang ayam, atau di pinggir jalan. Boro-boro Bapak bisa mengirimkan dokumen
dan surat-surat via email, untuk mengirimkan SMS saja sulit. Bapak harus
bolak-balik pergi ke Kecamatan atau Kota Kabupaten untuk mengurus kenaikan
pangkat atau sekedar hal remeh temeh. Tidak jarang motor rusak, atau tidak
sengaja Bapak juga pernah menabrak orang yang mengangkut kayu bakar menggunakan
sepeda. Jalanan rusak dan mata yang rabun menjadi masalahnya.
Hal itu pun mempengaruhi tingkat
kesehatan masyarakat kami. untuk mencapai Puskesmas atau klinik yang dikelola
oleh bidan atau perawat, pasien harus menggunakan sepeda motor. Untuk merujuk
pasien ke Rumah Sakit, kondisi jalan dan jauhnya jarak yang ditempuh
memperparah sakit si pasien dan bahkan membuat pasien tak tertolong lagi
diperjalanan. Beberapa minggu yang lalu, tetangga saya meninggal dalam perjalanan menuju Rumah Sakit dalam kondisi hamil delapan bulan.
Belum lagi masalah pertumbuhan
penduduk yang sangat tinggi. Kurangnya informasi dan komunikasi dengan dunia
luar menyebabkan masyarakat kami menjadi terisolir. Hanya sedikit kawan saya
yang menyelesaikan pendidikan tinggi. Hal ini menyebabkan tingginya angka
perkawinan yang berdampak pada pertumbuhan penduduk. Fenomena ‘anak-anak punya
anak’ di desa kami berujung pada kemiskinan dan minimnya tingkat
kesehatan. Hal ini kemudian yang memicu
orang-orang di desa kami menjadi pahlawan penyumbang devisa, atau menjadi buruh
di kota. Akibatnya tingkat urbanisasi di kota meningkat yang berkorelasi pada
peningkatan angka kejahatan, kemiskinan dan gelandangan, juga pengangguran di
kota.
Kami tidak tinggal di kawasan lindung. Kami bukan perambah hutan dan tinggal di kawasan konflik. apakah layak kami dimarginalkan? Semoga kami bukan merupakan korban pembiaran dan pembodohan yang sengaja
dipelihara oleh negara. Kami hanya minta janji-janji yang telah terucap itu
dibuktikan secara nyata. Jika memang mereka yang berjanji tidak takut dihantui
oleh bayang-bayang penderitaan rakyat sampai mereka mati.
pak SBY perlu dikasih tau ...
ReplyDeleteTerimakasih telah berkunjung, sebarkan, yuk :)
Delete