Surat Terbuka Untuk Pengelola Robinson Raja Basa

Belanja mudah dan nyaman di swalayan memang menjadi pilihan saya jika dibanding harus pergi ke pasar dan tawar menawar. Selain jarak dan kenyamanan yang sama-sama terpaut jauh, swalayan lebih mudah ditemukan daripada pasar tradisional. Entah itu berupa minimarket, maupun supermarket. Saya bukan tidak berpihak pada rakyat kecil, tapi seharusnya kita berupaya agar mereka bisa menerapkan pola berdagang yang lebih baik dengan produk dan pelayanan yang berkualitas.

Saya sendiri jarang sekali datang ke salah satu pusat perbelanjaan yang terbilang baru berdiri di Lampung. Dulu sewaktu pembangunannya sebenarnya saya sangat heran, kenapa ada pusat perbelanjaan semacam itu bersisian lokasinya dengan kampus, tepatnya bersebrangan dengan (bakal calon) rumah sakit kampus. Mungkin saya baru berkunjung kesana sekitar empat kali saat saya pulang ke Lampung. Keempat-empatnya kunjungan saya itu meninggalkan kesan tidak baik.


Dulu (entah kapan tepatnya saya lupa), pertama kali saya berkunjung kesana, saya berdebat dengan kasirnya. Masalahnya sepele, saya tidak mau belanjaan saya dimasukkan plastik yang disediakan oleh pihak swalayan. Saya keukeuh ingin memakai kantong tas belanja saya sendiri. Kali itu saya menitipkan pesan untuk para 'petinggi' pusat perbelanjaan itu melalui sang kasir.

Selasa kemarin, saya ingin sekedar looking around dan makan siang disana. Akhirnya saya makan di tempat makan bernuansa ungu yang saat ini sudah berlabel halal. Waktu itu sekitar pukul 11.30 dan saya sedang sibuk dengan makanan yang baru saja disajikan. Tiba-tiba saya dikejutkan dengan datangnya dua orang bersamaan dengan tumpukan sayuran. Jujur, kedatangan mereka membuat saya jadi malas makan.  Pertama, memang saya duduk dikursi di pinggir jalan. Kedua, tumpukan sayuran yang dibawa orang-orang itu tidak rapi dan memberikan kesan 'kumuh'. 

Seharusnya pihak pengelola restoran mempunya pintu sendiri untuk suplayer, bukan lewat pintu untuk konsumen dan melewati beberapa meja makan. Jika tidak memungkinkan, kenapa kedatangan barang tidak dijadwalkan pagi hari atau setidaknya sebelum jam makan siang. Saya sangat kecewa. Saya tidak tahu apakah hal itu terjadi setiap hari atau hanya saya saja yang terkena na'asnya. Yang jelas, manajemennya saya berikan stempel 'buruk'. Saya sudah gugling dan mencari kontak manajemen restoran tersebut tapi tidak menemukannya begitu pula pengelola swalayan di mal yang sama.

Setelah tidak jadi makan, saya hanya memanfaatkan fasilitas steker listrik untuk men-charge netbuk dan ponsel. Saya memang berlama-lama disana karena ada yang saya kerjakan. Ketika hendak pulang, saya ingat bahwa saya harus membeli beberapa stuff. Saya agak bingung dengan lokasi rak produk, oleh karena itu saya beberapa kali bertanya kepada pegawai. Parahnya, beberapa kali juga mereka bersikap tidak ramah dan terkesan jutek. Saya mengelus dada dan enjoy saja. Disana saya kembali berdebat dengan kasir masalah kantong plastik dan pembayaran debit.

Keesokan harinya saya kembali datang kesana untuk membeli pepaya dan alumunium foil. Agak susah mencari pepaya, dan kebetulan di sana ada. Akhirnya saya membeli satu buah pepaya saja karena setelah berputar-putar dan bertanya ternyata mereka tidak menyediakan alumunium foil. 

Di kasir, terjadi percakapan sebagai berikut:

K: Ada member, mbak? 
R: Nggak ada. (Harusnya saya bertanya karena kening saya berkerut. Namun kemudian otak saya paham bahwa yang dimaksud adalah member card).
K: Jadinya total *** kembali...
R: Oh, nggak usah pake plastik, mbak.
K: (seperti kurang baik pendengarannya dia malah memasukkan pepaya itu ke dalam kantong plastik)
R: Mbak, nggak usah pake kantong plastik, ya. Saya bawa kantong sendiri.
K: Nggak apa-apa, mbak. (Wajahnya mulai jutek)
R: Tapi saya nggak mau, mbak. Saya punya kantong sendiri.
K: Nggak apa-apa sih, mbak. Mbak mau kemana? Pulang, kan? Yaudah pake plastik aja!
R: Enggak, mbak. Saya mau pakai kantong saya sendiri. Saya biasa belanja pakai kantong saya sendiri.
K: Mbak belanja di mana? Di sini nggak boleh. Bawa aja, sih, plastiknya nanti sampe luar dibuang.
R: Nggak mau. Saya nggak mau pake plastik. Saya nggak mau nyampah.
K: Di sini nggak boleh.
R: Kenapa, sih, nggak boleh? Takut dikira nyuri, kan? Kan saya punya struk belanja.
K: Nggak boleh, mbak, peraturannya.
R: Saya jadi males belanja di sini sebenarnya. Di tempat lain saya boleh pakai kantong tas saya. Malahan mereka sangat mengapresiasi. Bahkan ada yang ngasih diskon kalau bawa kantong sendiri. Kok disini aneh, sih? (saya memasukkan pepaya tersebut kedalam kantong belanja saya dan menaruh plastiknya di meja kasir).

Masih dongkol, saya menghampiri satpam yang berjaga di tempat penitipan barang. Saya menitipkan pesan kepada pengelola pusat perbelanjaan tersebut dan menjelaskan maksud saya. Satpam tersebut berjanji untuk menyampaikan kepada atasannya. Semoga saja manajemen toko tersebut bisa agak gaul sedikit dan mengikuti perkembangan zaman. Plastik yang diberikan kepada konsumen juga bukan kantong plastik dengan kualitas baik, sehingga kantong plastik tersebut tidak dapat dipakai ulang. Malahan dalam beberapa kasus, kantong tersebut sudah robek sebelum sampai di rumah.

Saya dan ibu biasa berbelanja di pasar tradisional juga tidak pakai kantong plastik kecuali produk tertentu yang memang harus dimasukkan plastik. Itu pun seharusnya saya menggunakan misting (kotak makanan). Ibu saya juga demikian. Saya berbelanja di beberapa pusat perbelanjaan lain di Lampung dan di mana pun, mereka tidak pernah melarang saya. Malahan ada salah satu swalayan yang kasirnya lantas tersenyum dan mengucapkan "Terimakasih telah berpartisipasi menjaga bumi." Senyum si mbak kasir itu pun tak lekang oleh waktu dalam benak saya. Saya juga dengan senang hati kembali berbelanja di sana.

Konsumen kita memang terlalu dimanjakan oleh hal semacam ini. Seharusnya kewajiban kasir hanya sampai proses scanning harga dan pembayaran saja. Biarkan konsumen mengurus sendiri belanjaannya. Sediakan saja kantong plastik jika mereka mau. Atau setidaknya biarkan mereka menggunakan tas belanja sendiri dan tetap berikan senyum ramah.

Sejatinya bahwa prinsip berusaha bukanlah profit, profit, dan profit semata, melainkan people, planet, and profit. Seharusnya juga mereka tidak hanya menjual produk, tapi juga pelayanan yang memuaskan. Hal-hal penting tersebut juga kerap disampaikan dalam meteri kuliah Manajemen Operasi bersama Bapak Henry Yuliando.


2 comments

  1. Bentar..bentar ini nyata atau hanya khayalan utk materi kuliah ya?? ko ane jadi agak ga mudeng sama pernyataan tulisan bawahnya :D
    Dirimu dah balik ke lampung ya??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sorry...sorry kalo jd nggak mudeng. Hehe... ini kejadian nyata, ini kekecewaan yang benar-benar kualamisebagai konsumen. Padahal aku telah mendapatkan pengetahuan tentang hal-hal semacam ini di kuliah sejak setahun silam. Iya say, aku di Lampung. Sini, ih!

      Delete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<