setelah genap setahun kamu pergi
hanya ini yang bisa kubagi:
di subuh yang dingin, di balik selimut
semangatmu tak kunjung surut
aku melihat kamu hidup
menyembunyikan senyum pada bibir pucat pasi
di pagi berikutnya selepas hujan semalaman
aku masih mendengarmu bicara dengan suara tertahan
mengeja keriangan yang hampir hilang
meyakinkan bahwa kamu mampu bertahan
tak ada yang lebih kita rindukan selain kehidupan
yang membosankan
juga dada yang berdenyut tak beraturan
kamu mengajariku tentang hidup
meski
ragamu telah mati
mungkin kamu tidak pernah tahu
lembar demi lembar kenangan yang menyeretmu
melucuti mataku
jasadmu telah dikubur
tapi aku tahu sepi tak dapat diukur
andai kamu dengar
dikepalaku ada ceracau sesal yang hingar bingar
betapa Tuhan begitu ingin memelukmu
sementara aku belum pernah mengunjungi pusaramu
sekedar menitipkan rindu pada gundukan tanahmu
menaburkan bunga basah dan doa untuk menemanimu
menanti binar senyum pada wajahmu
yang melunturkan sesak di paru-parumu
dan hujan yang menyapu dosa-dosamu
aku bahkan tak sempat menyusun adegan pertemuan ulang
hingga kita harus dipisahkan
pada sepotong sabtu siang
(Setahun kepergiannya; 5 Januari 2012-5 Januari 2013; semoga kelak Tuhan mengumpulkan kami di jannah-Nya)
Rumah Masa Depan |
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr : 10)
Siapa yang tahu kalau
kelak aku mati membawa iman di dada? Apa mungkin Tuhan akan membiarkanku hidup hingga tua? Aku bertanya pada cermin. Seperti halnya Indra
yang mati muda. Yang kutahu, masih banyak orang hidup yang menyayanginya. Mengiriminya
doa-doa. Membersihkan pusaranya dan memayunginya dengan kamboja.
Aku bertanya pada tumpukan
buku-buku: adakah kelak kalian memberikan syafa’at kepadaku? Air mataku tumpah
mengingat sumpah serapah yang menganggapku sampah. Gadget yang kuperjuangkan dengan susah payah malah terkekeh.
“Aku justru senang jika
kamu mati,” matanya menyeringai, “aku akan beristirahat dan tak perlu kau paksa
aku bekerja lagi”.
Kemudian aku mengadu
pada pakaian-pakaian yang kubeli dengan alasan mereka cukup trendi.
“Jika kamu mati, kami
cukup bersenang hati. Karena kami tak lagi menemanimu mengejar urusan duniawi!”
Sungguh aku tak bisa
lari dari Tuhanku. Aku juga tak bisa lari dari manusia-manusia lain. Karena
saat ini aku hidup, dan suatu saat pasti mati. Jika aku terus begini, siapa
kelak yang akan memandikan mayatku? Siapa yang akan menyolatkanku? adakah orang yang akan menangisi kepergianku? Bahkan aku
tak bisa berjalan sendiri ke pemakaman. Aku juga tak bisa membiarkan jasadku
tergolek di jalanan dan membiarkan ruh-ku bertemu Tuhan. Kemudian terkalung sesal dan
meminta ampunan sementara nyawa telah lepas dari badan. Na’udzubillah...
rest in peace....pedih membaca puisimu...dan semoga kita kelak menjadi penghuni surga-Nya
ReplyDeleteAamiin yaa rabb... sebagai bagian dari zikrul maut, mbak. Kita tinggalmenunggu giliran :)
ReplyDelete