Ketika Semesta Jadi Saksi Bijaksana [Sebuah Monolog 1# Episode]

Malam kian larut, arlojiku menunjukkan pukul 20.02.Entah mengapa kaki ini melangkah seenaknya. Menyusuri jalan gelap dan membuatku harus melompat – lompat untuk menghindari kubangan ciptaan hujan. Jalan komplekyang tidak bisa dibilang sepi dan tidak terlampau penting [daripada membangun istana – istana pejabat] kondisinya memprihatinkan. Hhhahhh...beginilah nasibjalan raya dikotaku. Mungkin para birokrat tidak dapat mendengar bisik batu –batu jalanan yang terpaksa terlempar ketika dilindas kendaraan. Ya... karenahati mereka terlalu keras (mungkin). Seharusnya jalanan ini dibuat dari materialsekeras hati mereka sehingga tidak mudah rusak.  


Lupakan soal buruknya fasilitas umum yang hanyaakan menambah dosa dengan mengumpat, mencari kambing hitam, lantas menghujanimereka dengan sumpah serapah. Astaghfirullah...

Lihat, galaksiku...aku melihat galaksiku dibawah orion. Heiy...tunggu!!! dimana bulan?! Nampaknya dia terlalu pemalu untuk muncul sesore ini. Ah, biarkanlah. Biarkan aku menikmati galaksiku. Setelah kutemukan orion terlebih dahulu.  Hatiku girang bukan kepalang, kedatanganku disambut rumput – rumput yang menari bak penyambutan terhadap tamu agung dengan satu episode Sigeh Penguten. Kakiku berpijak pada tanah becek menuju keatas bukit. Aku tak peduli. Kutabikkan salampada semesta. Rupanya kedatanganku mengganggu tasbih mereka yang syahdu. Tiba –tiba angin menyapaku ketika aku tiba dipuncak dan menikmati indahnya lampu –lampu kota yang tidak seberapa.

 " Selamat malam sobat, bagaimana puasamu hari ini?"

Aku tidak serta merta menjawab. Aku mencoba mengingat – ingat apakah esensi ibadah puasa yang aku jalankan?

"Aku belum bisa menahan nafsu dalam hatiku. Lagi –lagi aku kalah. Aku juga belum bisa mengendalikan pikiranku. Angin, bisakan kau terbangkan segala keegoisan dari dalam diriku? Bawa pergi saja olehmu!!"jawabku lesu.

"Apa? Apa yang kau pikirkan kini?!" angin menelisik.

" A..aaa...ku... hhhah...mungkin aku hanya terlalu banyak menuntut. Atau mungkin tidak bersyukur atas apa yang Rabb-ku limpahkan kepadaku. Aku terlalu...huh."

"Allah bersama orang – orang yang sabar. Dan kini,nikmat Allah yang mana lagi yang kau dustakan?" Angin mulai serius.

"Ceritakanlah kepada kami apa yang telah terjadi padamu, paling tidak, hal itu akan sedikit mengurangi keresahanmu," rumput liar mulai ikut campur.

 فَبِأَيِّ آلَاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

Artinya:
Maka ni’mat Robb-mu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS Ar Rahman:13)

 

Di setiap tarikan nafas yang kita hirup, di setiap bergantinya siang malam, di setiap detak jantung, ada nikmat Allah yang kita sering kita  lupakan. Ya, nikmat Allah yang sering lupa untuk kita syukuri. Dan ketika musibah datang, kita juga lupa bahwa itu sebagian nikmat yang Allah beri. Lalu kita pun justru mengumpat, mencemooh, menhujat, dan mengata-ngatai bahwa Allah tidak adil. Astaghfirullah...


*Sigeh Penguten: Tari tradisional Daerah Lampung sebagai simbol penyambutan/ucapan selamat datang kepada tamu agung.
Baca juga Ketika Semesta Jadi Saksi Bijaksana #2

No comments

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<