Malam kian larut, arlojiku menunjukkan pukul 20.02.Entah mengapa kaki ini
melangkah seenaknya. Menyusuri jalan gelap dan membuatku harus melompat – lompat
untuk menghindari kubangan ciptaan hujan. Jalan komplekyang tidak bisa dibilang
sepi dan tidak terlampau penting [daripada membangun istana – istana pejabat]
kondisinya memprihatinkan. Hhhahhh...beginilah nasibjalan raya dikotaku.
Mungkin para birokrat tidak dapat mendengar bisik batu –batu jalanan yang
terpaksa terlempar ketika dilindas kendaraan. Ya... karenahati mereka terlalu
keras (mungkin). Seharusnya jalanan ini dibuat dari materialsekeras hati mereka
sehingga tidak mudah rusak.
Lupakan soal buruknya fasilitas umum yang hanyaakan menambah dosa dengan
mengumpat, mencari kambing hitam, lantas menghujanimereka dengan sumpah
serapah. Astaghfirullah...
Lihat, galaksiku...aku melihat galaksiku dibawah orion. Heiy...tunggu!!!
dimana bulan?! Nampaknya dia terlalu pemalu untuk muncul sesore ini. Ah,
biarkanlah. Biarkan aku menikmati galaksiku. Setelah kutemukan orion terlebih
dahulu. Hatiku girang bukan kepalang, kedatanganku disambut rumput –
rumput yang menari bak penyambutan terhadap tamu agung dengan satu episode Sigeh Penguten. Kakiku berpijak pada
tanah becek menuju keatas bukit. Aku tak peduli. Kutabikkan salampada semesta.
Rupanya kedatanganku mengganggu tasbih mereka yang syahdu. Tiba –tiba angin
menyapaku ketika aku tiba dipuncak dan menikmati indahnya lampu –lampu kota
yang tidak seberapa.
" Selamat malam sobat, bagaimana puasamu hari ini?"
Aku tidak serta merta menjawab. Aku mencoba mengingat – ingat apakah esensi
ibadah puasa yang aku jalankan?
"Aku belum bisa menahan nafsu dalam hatiku. Lagi –lagi aku kalah. Aku
juga belum bisa mengendalikan pikiranku. Angin, bisakan kau terbangkan segala
keegoisan dari dalam diriku? Bawa pergi saja olehmu!!"jawabku lesu.
"Apa? Apa yang kau pikirkan kini?!" angin menelisik.
" A..aaa...ku... hhhah...mungkin aku hanya terlalu banyak menuntut.
Atau mungkin tidak bersyukur atas apa yang Rabb-ku limpahkan kepadaku. Aku
terlalu...huh."
"Allah bersama orang – orang yang sabar. Dan kini,nikmat Allah yang
mana lagi yang kau dustakan?" Angin mulai serius.
"Ceritakanlah kepada kami apa yang telah terjadi padamu, paling tidak,
hal itu akan sedikit mengurangi keresahanmu," rumput liar mulai ikut
campur.
فَبِأَيِّ آلَاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Artinya:
“Maka ni’mat Robb-mu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS Ar Rahman:13)
Di setiap tarikan nafas yang kita hirup, di setiap bergantinya siang malam, di setiap detak jantung, ada nikmat Allah yang kita sering kita lupakan. Ya, nikmat Allah yang sering lupa untuk kita syukuri. Dan ketika musibah datang, kita juga lupa bahwa itu sebagian nikmat yang Allah beri. Lalu kita pun justru mengumpat, mencemooh, menhujat, dan mengata-ngatai bahwa Allah tidak adil. Astaghfirullah...
*Sigeh Penguten: Tari tradisional Daerah Lampung sebagai simbol penyambutan/ucapan selamat datang kepada tamu agung.
Baca juga Ketika Semesta Jadi Saksi Bijaksana #2
Baca juga Ketika Semesta Jadi Saksi Bijaksana #2
No comments
Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<