SI MISKIN TAK BOLEH JADI DOKTER, TAPI BERHAK HIDUP SEHAT

Saya semakin paham mengapa banyak anak-anak yang memiliki jawaban hampir serupa ketika ditanya tentang cita-cita. Susan, boneka yang lucu saja ingin menjadi dokter jika besar nanti. Begitu pula sebagian anak-anak yang telah terdoktrin bahwa menjadi dokter itu profesi yang mulia  dan terjamin segalanya. Bertarung dengan nyawa orang-orang yang menaruh harapan tidak pernah menjadi impian saya. Saya lebih memilih bercita-cita menjadi penerjemah atau duta besar kala itu. Saya tidak ingin orang-orang mendewakan saya jika saya berhasil menyelamatkan nyawa mereka. Dielu-elukan atau dicemooh ketika saya gagal menjadi labuhan harapan kesehatan orang lain.
Namun orang tua mungkin mempunyai pemikiran berbeda. Mereka akan bangga jika anaknya mampu menjadi ‘pahlawan’ dan sandaran orang-orang. Mereka juga akan senang melihaat anaknya dengan gagah memakai jas putih dengan stetoskop terkalung dilehernya. Begitu pula orang tua saya.



Menyadari bahwa penghasilannya belum cukup pantas untuk bermimpi menyekolahkan anaknya agar menjadi dokter, orang tua saya menyuruh saya untuk mendaftar disekolah kebidanan. Berbekal ilmu yang saya asah melalui organisasi Kepalangmerahan, sedikit banyak saya juga tahu dunia kesehatan.  

Ironi Instansi Pendidikan Kesehatan
Dengan bangga bapak saya mengantar anaknya ini yang masuk kedalam jajaran ranking tiga besar saat kelulusan SMA mendaftar disekolah kebidanan. Bapak yakin anaknya tidak akan gagal. Kami menggunakan kendaraan umum dari desa menuju kota menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam. Disana pemandangan yang kami lihat adalah mobil-mobil mentereng. Bukan hanya orang tua (calon) mahasiswa saja yang mengendarainya, tapi juga ada beberapa anak yang memang menjadikan mobil itu tongkrongannya. Sempat ciut? Pasti. Tapi saya tidak pernah gentar menghadapi orang lain yang berlebihan materi. Sampai suatu saat saya ditanya oleh salah satu orang tua mereka.

“Nyogok berapa, dek, bapaknya?”

Deg! Saya terpukul seketika. Semangat juang untuk menuruti keinginan orang tua tinggal kepasrahan semata. Saya sedih. Dia berani bertanya seperti itu berarti suap-menyuap sudah merupakan satu hal yang sangat lazim. Saya pandangi kulit legam bapak saya dan aura semangatnya untuk menyekolahkan anaknya. 

Kemudian saya semakin tahu bahwa tidak sedikit dari kawan-kawan saya sendiri melakukan praktek suap tersebut. Hal itu saya ketahui ketika saya telah lulus seleksi mahasiswa di suatu universitas-negeri-bukan-kesehatan. Saya juga tahu bahwa kawan saya yang berasal dari kelas IPS bisa kuliah di Fakultas Kedokteran kampus swasta. Saya jadi tahu bahwa tidak sedikit lulusan SMA jurusan IPS, bahkan SMK non-sains yang kuliah di bidang ilmu kesehatan.

Bukan bermaksud mendiskreditkan lulusan IPS, namun setiap orang seperti sudah ada bakatnya masing-masing. Tidak sedikit orang yang menekuni bidang IPS dan mereka tergolong orang yang sangat cerdas. Hal itu karena memang mereka berbakat dalam ilmu sosial. Ah, sepertinya semua juga tahu kalau lulusan IPA dapat kuliah di bidang sains dan sosial, sementara lulusan IPS hanya bisa kuliah di bidang ilmu sosial. Ini bukan mengenai tinggi-rendahnya intelejensi, ini terkait kemampuan apa yang paling menonjol dalam diri orang tersebut.

Kualitas pelayanan kesehatan ditentukan seberapa jauh kuantitas dan kualitas pendidikan kesehatan yang ada. Saat ini masih banyak institusi pendidikan kesehatan yang belum memenuhi standar kualitas pendidikan. HPEQ (Health Professional Education Quality) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi bahkan menyatakan bahwa dari 2253 program studi dalam 7 profesi kesehatan, baru sekitar 50 % program studi yang telah terakreditasi tahun 2012. Wajar jika masyarakat masih mempertanyakan kualitas tenaga kesehatan jebolan dari institusi yang belum terakreditasi tersebut.

Budaya Yang Mengakar
Ada juga beberapa kawan yang rela menuntut ilmu di kampus swasta dengan biaya selangit. Saya sendiri heran, ketika lulus beberapa dari mereka masih mengejar status Pegawai Negeri Sipil (PNS). Lantaran formasi PNS yang sedikit diwilayah yang terbilang strategis, mereka menyuap para pihak untuk dapat lulus menjadi CPNS dan akhirnya menjadi PNS. Sayangnya saya belum pernah menyaksikan kasus ini diusut dan dibeberkan kepada masyarakat luas.

Ini seperti penyakit yang sudah sedemikian mengakar pada budaya kita. Bukan hanya korupsi dalam bentuk suap, namun juga segala bentuk kolusi dan nepotisme juga tak terelakkan lagi. Kecurangan ini mengakibatkan sangat kurangnya distribusi tenaga kesehatan disetiap instansi kesehatan pemerintah maupun swasta. Sehingga persolaan kesehatan yang ada semakin komplek tidak tertangani dengan baik.

Keterbukaan informasi pada media sosial membuka mata dan pikiran saya lebar-lebar. Semua kebusukan sistem pendidikan hingga proses perekrutan pegawai sampai pengangkatan kenaikan jabatan sudah menjadi rahasia umum. Saya sempat marah dan geram sendiri beberapa kali melihat beberapa statement kawan-kawan yang telah lulus dan sedang menjalani tugas sebagai PTT. Kira-kira begini status Facebook salah seorang kawan:

“Haduuuhhh... ini pasien banyak banget, sih, capek. Semoga besok sepi jadi bisa santai, deh!”

Ada lagi tenaga farmasi yang berstatus kira-kira begini:

“Orang itu dodol banget, sih, udah dibilang itu obat batuk, masih juga tanya..bla...bla...”

Si Sakit Makin Sakit
Ketika saya magang disuatu surat kabar sebagai reporter, saya pernah diberi desk liputan kesehatan dimana saya harus meliput berita disalah satu Rumah Sakit Umum Daerah. Disana saya melihat kumuhnya ruangan perawatan, antrian panjang orang-orang yang tampak kesusahan, dan malah dibuat susah oleh ribetnya proses pendaftaran demi pelayanan kesehatan gratis karena alasan kemiskinan. Alih-alih beramah tamah kepada klien, petugas loket pendaftaran malah lebih sering bersikap sinis. Sudah tertimpa sakit, kesulitan biaya, ditambah hati terluka. Ah, malang sekali nasib si miskin.

Kenyataan ini mendukung fakta dimedia yang sempat ada, misalnya adanya pasien yang meninggal di Sulawesi karena dokternya berlibur akhir tahun. Atau kasus di Solo yang Puskesmasnya tutup pada hari libur natal.  Bukti lain masalah pelayanan kesehatan di Rumah Sakit adalah kasus bayi kembar lahir prematur yang bernama Dera, meninggal setelah ditolak 10 Rumah Sakit.  Saya sendiri melihat dan dapat menyangka bahwa orang yang sakit dapat semakin sakit bahkan meninggal dengan pelayanan kesehatan sedemikian rupa. Orang sakit tidak dapat menunggu sementara orang berlibur dapat ditunda atau dibuat shift kerja.

Kita semua saya kira paham bahwa kesehatan dan pendidikan merupakan pilar suatu negara dalam menentukan kemajuan dan kesejahteraan. Pendidikan yang baik menjamin lahirnya SDM yang berdedikasi tinggi, berintegritas, profesional, bermoral, dan berakhlak mulia. Tanpa dukungan pelayanan dan jaminan kesehatan yang mumpuni, hal itu juga akan sulit tercapai. Masyarakat yang produktif dan berdaya saing tinggi akan menjadi tulang punggung kemajuan suatu bangsa. Populasi penduduk Indonesia yang besar perlu dipersiapkan pola pelayanan kesehatan yang efektif, aman, mudah, murah.

Pengabdian VS Profesionalisme
Akhir-akhir ini marak kita lihat di media massa bahwa profesi dokter adalah profesi yang sangat beresiko. Untuk bisa menjadi dokter,  seseorang paling tidak menghabiskan waktu kuliah selama lima tahun, ditambah dengan pendidikan spesialis, uji kompetensi, baru dapat membuka praktek sendiri. Seantero dunia juga tahu bahwa tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk mengenyam pendidikan kedokteran. Wajar jika beberapa orang menganggap buruknya pelayanan kesehatan merupakan ajang 'balas dendam' dari kesulitan masa lalu yang harus dilalui oleh para dokter. Meski tidak demikian yang terjadi sebenarnya.

(Sumber)
Dengan berat hati saya juga harus mengatakan bahwa regulasi kesehatan indonesia belum berpihak kepada rakyat yang membutuhkan. Hal ini terlihat bahwa instansi kesehatan hanya menunggu pasien yang aktif, kemudian untuk puskesmas non rawat inap hanya buka 7-8 jam dalam lima hari kerja. Selain itu sering kali petugas kesehatan bersikap judes atau kasar kepada pasien atau keluarga pasien dengan pengetahuan minim dan pakaian kumal.

Saya kira akan baik dampaknya bila dokter, perawat, bidan dan lainnya yang bekerja di instansi kesehatan pemerintah tidak diperkenankan buka praktek dan merangkap praktek di instansi lain, hal ini dilakukan agar pelayanan yang menjangkau bisa fokus tatkala petugas medis dibutuhkan. Selain dibutuhkan keahliannya dalam mendiagnosa dana menangani suatu tanda-tanda sakit dalam tubuh pasien, tenaga medis juga harus memberikan pelayanan prima dalam hal sikap dan tingkah laku. Pelayanan kesehatan di setiap intansi kesehatan harus nyaman, aman dan profesional artinya sikap dan perilaku tenaga kesehatan dalam memberikan layanan harus bersifat kekeluargaan dan memuaskan masyarakat dan berusaha meminimalisasi kesalahan dalam tindakan. Hal itu dapat terwujud apabila tenaga medis mempunyai status fisik yang sehat, jiwa yang tenang, tidak capek, dan hati riang. Berbeda dengan tenaga medis yang harus bekerja di dua Rumah Sakit.
Keikhlasan dalam memberikan pelayanan (Sumber)
Kasus keterlambatan penanganan pasien dan maalpraktek di Rumah Sakit memang tidak melulu disebabkan oleh kesalahan seorang dokter. Hal ini lebih dipicu oleh sistem manajemen dari instansi medis itu sendiri. Keterlambatan penangan pasien karena belum dibayarnya biaya administrasi, misalnya, ini bukan alasan yang logis apabila pasien tersebut tidak segera ditangani atau bahkan sampai meninggal. Hal inilah yang seharusnya dikritisi bersama. Protes dokter seharusnya bukan dengan cara mogok yang merugikan orang lain, namun lebih kepada aksi nyata untuk mengkritisi para pihak agar mengeluarkan produk hukum dan kebijakan untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang layak bagi siapapun tanpa memandang kelas dan strata sosial. 

Masyarakat juga harus senantiasa berpartisipasi aktif dan melakukan pengawasan serta melaporkan setiap kebijakan, peraturan dan tindakan dari oknum pemerintah yang tidak memihak kepada pasien atau rakyat. 

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog “Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan di Indonesia” dengan subtema (4) Paradigma dokter Indonesia: antara usaha balik modal dan pengabdian.



Lomba Blog FPKR"/>


5 comments

  1. Di masyarakat kita sudah tertanam kalau jadi dokter itu hidupnya akan enak, sehingga banyak orang tua yang menginginkan anak mereka masuk dunia kedokteran.

    ReplyDelete
  2. Waktu kecil dulu, saya bercita-cita menjadi guru eh sekarang cita" itu hanya angin lalu hehe

    ReplyDelete
  3. Yang bukan dokter bilang jadi dokter itu enak, yang dokter mengeluh gajinya nggak layak. Pasti begitu karena manusia nggak pernah puas. Putri raja aja nggak betah dikurung dalam istana, sementara rakyat jelata menganggap hidupnya serba istimewa. Hehe... Terimakasih atas kunjungannya :)

    ReplyDelete
  4. untuk masuk ke fakultas kedokteran itu sungguh sangat mahal , kayak hanya untuk orang - orang kaya aja yg bisa masuk ke fakultas kedokteran

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<