MENJADI KONSUMEN BIJAK UNTUK YOGYA SEHAT DAN NYAMAN

Ketertarikan pada jurnalisme dan media menuntun langkah saya mengikuti ajakan seorang kawan untuk menyambangi Festival Media Yogya di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, UGM, kemarin (28/9).  Konon acara ini merupakan rangkaian perayaan ulang tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang ke-19 berlangsung dari 28-29 September 2013.Disana terdapat aneka booth berbagai media daerah dan nasional bahkan multinasional termasuk booth Harian Jogja. Ada satu yang sangat berkesan bagi saya, booth Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY). Booth yang didominasi warna hijau muda ngejreng ini ‘dihidupkan’ pula oleh para relawannya yang enerjik dan pandai menarik hati pengunjung.
Booth ini menyediakan informasi mengenai safety and health consumer, kampanye produk-produk ramah lingkungan dan kesehatan. Selain itu ada juga games puzzle, menjawab pertanyaan, dan konspirasi alias konsumen punya aspirasi. Akan sangat baik sekali jika festival ini berfungsi sebagai sarana mendekatkan diri antara media massa dengan masyarakat. Jika tujuan tersebut tidak tercapai sepenuhnya juga sayang sekali. Demikian juga kampanye yang digaung-gaungkan oleh LKY. 

Misalnya pengunjung pameran hanya dari kalangan mahasiswa atau orang-orang yang sudah teredukasi dengan baik. Mereka kebanyakan tahu (meskipun belum paham) mengenai bagaimana seorang konsumen yang berwawasan lingkungan harus bersikap. Maka kampanye semacam ini harus senantiasa digadang-gadangkan secara terus-menurus melalui berbagai media. Terlebih di Yogyakarta dengan komposisi masyarakat yang heterogen dan banyak warga pendatang.
Sebagai kota pelajar sekaligus kota tujuan wisata, setidaknya warga Yogyakarta bertambah tiap tahunnya. Hal ini tentu saja tidak sepadan dengan jumlah mahasiswa yang lulus kuliah tepat waktu dengan ribuan mahasiswa yang baru masuk kuliah. Belum lagi mahasiswa yang melanjutkan kuliah lagi dan yang enggan kembali kekampung halamannya. Hal ini merupakan keistimewaan Yogyakarta sekaligus ancaman. Jika tidak diantisipasi, hal ini dapat berakibat pada peningkatan jumlah penduduk dan masalah klasik perkotaan seperti sampah, emisi, kemacetan, dan sebagainya.
Anak kos cenderung memilih apapun yang simpel. Meski tidak semuanya demikian, tapi tetap saja Yogya harus selalu ‘mendidik’ setiap warganya yang baru datang. Kemudian ‘menjaga’ agar warganya selalu dalam ‘didikannya’. Dengan semakin mudahnya pemenuhan kebutuhan saat ini, ancaman sampah menjadi semakin nyata. Malas masak dirumah, beli makan diwarung dan dibawa pulang. Sebagai konsumen, jangan mau tertipu dengan aneka Bahan Tambahan Makanan (BTM) yang berbahaya bagi tubuh. Pengawet yang berbahaya, pewarna tekstil, pemanis buatan yang berbahaya, dan yang tidak kalah penting adalah bahaya penggunaan staples dalam pengemasan produk pangan.. Jika pembeli tidak menggunakan misting (wadah makan) tentu memerlukan plastic atau kertas pembungkus makan yang kemudian menjadi sampah. Sudah lumayan banyak juga kawan yang selalu membawa goodie bag atau tas pakai ulang lainnya kemanapun ia pergi sehingga tidak perlu memasukkan belanjaan kedalam kantong plastic.
Dengan alasan kepraktisan dan penampilan, saat ini bermunculan retoran yang identik dengan bungkus makanan yang terbuat dari plastik atau styrofoam yang sulit dihancurkan oleh tanah. Permasalahan sampah sepertinya tidak akan pernah ada habisnya selama manusia masih saja menggunakan barang sekali pakai seperti plastik. Selain menimbulkan permasalahan dalam hal pengelolaan sampahnya, penggunaan plastik juga tidak baik bagi kesehatan. Terlebih plastik yang kontak langsung dengan makanan yang kita makan. Bahan kimia dalam plastik akan terurai dan bermigrasi kedalam makanan.
Untuk itu, mulailah melakukan penghematan penggunaan kantong plastik. Membawa tas pakai ulang ketika berbelanja dapat mengurangi pemakaian tas kresek. Pernahkah memperhatikan sedotan dan tutup plastik pada minuman di gerai makan cepat saji? Jika kita minum dan makan ditempat, mengapa harus memakai tutup dan sedotan? Begitu juga dengan kemasan air minum sekali pakai. Bukankah lebih baik membawa tumbler (wadah air minum) yang dapat dipakai berkali – kali tanpa menimbulkan sampah.
Hidup seorang diri atau dengan jumlah anggota keluarga yang sedikit membuat keperluan terhadap produk-produk tertentu juga sedikit. Tidak jarang orang lebih senang membeli produk dalam kemasan kecil atau sachet yang sekali habis langsung buang. Tentu akan lebih bijak jika kita membeli produk yang dapat diisi ulang (refill). Harganya juga biasanya lebih murah jika membeli produk dalam kemasan lebih besar.
Gaya hidup hijau erat kaitannya dengan menjaga kesehatan. Kesehatan tubuh kita ini tergantung sekali dengan apa yang kita makan. Tidak cukup makan empat sehat lima sempurna, tapi perlu diperhatikan juga bagaimana asal usul makanan itu. Jaman sekarang hidup kita dilingkupi pencemaran dalam berbagai aspek kehidupan. Air yang kita minum, tanaman pertanian, juga hewan ternak, semuanya adalah bisa saja menjadi racun yang menjadi sumber berbagai penyakit dalam tubuh kita.
Bayangkan, pestisida apa saja yang disemprotkan untuk mencegah tanaman dimakan hama. Penggunaan pupuk urea pada tanaman juga melepaskan gas keatmosfer. Zat kimia apa saja yang disuntikkan pada binatang ternak supaya bisa lekas disembelih dan dikonsumsi. Segala zat yang digunakan untuk mendukung budi daya tanaman dan ternak itu mau tidak mau akan ikut masuk ke dalam tubuh kita, pada saat kita menkonsumsinya.
Hidup organik adalah hidup menjauhkan diri dari segala zat kimia rekayasa untuk pertanian tanaman pangan dan peternakan. Sayur dan buah organik saat ini bisa didapatkan. Lebih baik lagi jika kita bisa menanam sendiri di sekitar rumah kita. Berkebun dirumah juga akan menambah keasrian lingkungan sekitar rumah. Banyak pilihan metode berkebun yang saat ini marak dikembangkan, seperti vertikultur atau hidroponik untuk lahan sempit. Sampah organik juga bisa dijadikan pupuk, daripada dibuang sia-sia. Sampah organik jika dibiarkan menumpuk dan tidak diolah secara bijak juga akan menghasilkan gas metan yang juga merupakan salah satu Gas Rumah Kaca (GRK).
Belum lagi bicara mengenai pemilihan produk yang ramah lingkungan dan ramah kesehatan. Banyak orang yang masih abai mengenai hal ini. Padahal ancaman pemanasan global (global warming) yang menghantui diberbagai lini kehidupan manusia sudah didengung-dengungkan. Sebagai konsumen yang bijak, kita harus selektif dalam memilih produk. Produk yang baik mencantumkan identitas lengkap pada kemasannya. Informasi tersebut terdiri dari nama produk, penjelasan tentang produk, cara penggunaan, petunjuk penyimpanan, tanggal kadaluarsa, komposisi bahan baku, indikas, kontra indikasi, dan informasi lain yang sekiranya perlu menjadi perhatian konsumen. Dengan demikian jika terjadi sesuatu hal akan lebih mudah dilacak dan dicari tahu penyebabnya.
Saat ini mulai banyak bermunculan produsen yang menyatakan bahwa dirinya peduli terhadap lingkungan. Mulai dari ikut berkampanye tentang lingkungan, membuat produk dari bahan-bahan ramah lingkungan, atau dengan menciptakan kemasan yang tidak akan menjadi sampah dan masalah. Informasi tersebut bisa kita dapatkan dari produk dengan label khusus pada kemasannya. Ada produk yang menggunakan plastic yang dapat didaur ulang (meskipun tetap membutuhkan waktu yang lama), Ada juga kemasan produk yang tidak menggunakan hewan sebagai percobaan pengujian kualitas produk, bebas pestisida, aman dibuang langsung kelingkungan,dan lain sebagainya. Untuk itu kita sebagai konsumen harus jeli memilih produk.
Dalam UU Nomor 18 tahun 2008 telah jelas bahwa kita harus mengurangi sampah dari awalnya. Menurut saya, sampah kemasan suatu produk adalah tanggungjawab dari produsen. Konsumen tidak membeli kemasannya, tapi hanya membeli isinya. Oleh karena itu produsen harus berpikir bagaimana agar produk mereka tidak menghasilkan sampah. Sebagai individu juga harus meminimalisasi bagaimana agar kita menghasilkan sampah sesedikit mungkin.
Berbagai upaya dari berbagai pihak sebenarnya telah banyak sekali dilakukan untuk mengatasi permasalah lingkungan ini. Upaya tersebut terkadang kurang sustain atau yang terkesan jalan ditempat dan hanya menyentuh pihak-pihak tertentu saja. Prodesen dituntut untuk tidak hanya focus terhadap konsumen (people) dan profit saja, melainkan profit, people, and planet.
Malas mencuci, dimasukkan saja ke laundry. Kirim pakaian kotor, diambil sudah rapi kembali. Laundry terkadang menggunakan deterjen yang bersifat ‘keras’ sehingga berbahaya untuk si konsumen dan juga lingkungan. Untuk itu, konsumen juga harus berhati-hati. Pemerintah juga harus memperketat pengawasan terhadap pembuangan air limbah. Dengan semakin banyaknya usaha yang bertebaran dibumi Yogya. Bukan saja buangan limbah industry, tapi juga limbah domestic atau komunal.
Akhir-akhir ini produsen-produsen elektronik mulai saling berlomba menawarkan berbagai inovasi produk yang diklaim ramah lingkungan. Setidaknya produk mereka hemat listrik. Namun yang tidak kalah penting adalah produk tersebut dibuat dari komponen bahan yang juga ramah lingkungan. Memilih gadget atau alat elektronik dengan spesifikasi terbaik memang harus disesuaikan dengan budget dan kebutuhan kita. Jika kita ingin bergaya hidup sehat dan ramah lingkungan, mulai sekarang, gunakan produk yang ramah lingkungan.
Didunia industry, banyak sekali aturan yang harus ditaati. Terutama jika suatu industry ingin beroperasi secara global. Industry tersebut harus memenuhi permintaan tidak saja dari segi kualitas dan kuantitas, tetapi juga jaminan sustainability­-nya. Bagaimana pelaku usaha meyakinkan konsumen bahwa produknya dibuat dari sumber bahan baku yang terjamin kelestariannya, tidak merusak alam, aman, baik prosesnya, terjamin kebersihannya, tidak abai terhadap kesejahteraan pekerja, dan sebagainya. Hanya perusahaan yang mampu menghasilkan barang atau jasa berkualitas kelas dunia yang dapat bersaing dalam pasar global. Hal tersebut tertuang dalam bentuk sertifikasi yang berlaku didunia internasional seperti Total Quality Management (TQM), ISO 9000/ISO 22000 dan konsep Hazard Analisys Critical Control Point (HACCP), dan sebagainya.
Kementrian lingkungan hidup juga mempunyai suatu program yang disebut PROPER. PROPER merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah, untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan perusahaan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Program ini merupakan wujud transparansi dan demokratisasi dalam pengelolaan lingkungan di Indonesia. Pada awalnya pelaksanaan PROPER difokuskan pada penilaian peringkat kinerja penaatan perusahaan terhadap pengendalian pencemaran air dari perusahaan yang masuk dalam Program Kali Bersih (PROKASIH). Namun saat ini penilaian dilakukan lebih menyeluruh dengan menggandeng berbagai stakeholder. Penyebaran informasi kinerja perusahaan akan mendorong interaksi antara perusahaan, pekerja, kelompok masyarakat, konsumen, pasar modal dan investor, serta instansi terkait. Para stakeholder akan memberikan tekanan terhadap perusahaan yang kinerja pengelolaan lingkungannya belum baik. Sebaliknya, perusahaan yang kinerja pengelolaan lingkungannya baik akan mendapatkan penghargaan.
Dengan demikian, jaminan terhadap produk yang baik tentu semakin nyata jika para produsen saling berlomba untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Dalam industry pangan, misalnya, hal yang banyak terjadi dimasyarakat kita adalah kurangnya tanggung jawab dan kesadaran produsen dan distributor terhadap keamanan pangan tampak dari penerapan Good Agricultural Practice (GAP) dan teknologi produksi berwawasan lingkungan yang belum sepenuhnya dilaksanakan oleh produsen. Penerapan Good Handling Pratice (GHP) dan Good Manufacturing Pratice (GMP) serta Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang masih jauh dari standar oleh produsen berskala kecil dan industry rumah tangga. Walaupun jaminan mutu dan kesehatan konsumen akan menambah biaya produksi, namun hal ini diimbangi dengan peningkatan penerimaan oleh konsumen. Di samping dapat menimbulkan citra yang baik dari konsumen, pengendalian mutu yang efektif akan mengurangi resiko produk rusak.
Dengan dampak perubahan iklim yang terjadi secara global, sekarang dan di masa depan, semua orang perlu menjadi bagian dari upaya pencarian solusi dan penyelamatan bumi. Saat ini telah banyak sosialisasi gaya hidup hijau (Green lifestyle) yang menjadi pilihan positif sebagai tren baru. Masing – masing orang dapat memilih untuk bertindak dengan mengubah gaya hidup mereka atau melakukan upaya lain sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Mengurangi dampak dari emisi Gas Rumah Kaca (GRK/Green House Gas) dapat dilakukan dengan menerapkan perilaku hidup rendah karbon atau biasa disebut green lifestyle/gaya hidup hijau.  GRK merupakan gas-gas pada atmosfer yang teremisi, menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah dan menyebabkan efek rumah kaca. GRK dapat berbentuk gas Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrogen Oksida (N2O), dan gas – gas lain yang mengandung fluor (HFC, PFC, dan SF6). Jika GRK ini terlepas ke atmosfer, akan meningkatkan suhu permukaan bumi yang menyebabkan pemanasan global, yang akhirnya mengakibatkan perubahan iklim yang sangat ekstrem di bumi.
Pemerintah telah mengeluarkan aturan mengenai pengurangan emisi GRK sebagaimana telah tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 tentang Penyusunan Rencana Aksi Nasional penurunan emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Perpres ini dikeluarkan sebagai pedoman untuk menyusun upaya dan langkah-langkah penurunan emisi GRK. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk dapat menurunkan emisi GRK sebesar 26% dengan usaha sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada 2020.
Berbagai dampak perubahan iklim tidak terlepas dari perilaku manusia dalam menjalankan aktivitas pembangunan ekonomi. Kebijakan pembangunan yang terintegrasi dengan penanganan dampak perubahan iklim saat ini sangat diperlukan. Dengan demikian pembangunan perekonomian dapat berjalan selaras dan seimbang dengan pelestarian lingkungan hidup.
Oleh karena itu diperlukan tindakan nyata ( real action ) untuk mencegah terjadinya permasalahan ekologi. Permasalahan ekologi hendaklah disikapi secara serius. Jika tidak, permaslahan ini akan menimbulkan krisis ekologi yang lebih kompleks lagi. Permasalahan ekologi merupakan permasalahan global yang tidak dapat diatasi oleh perorangan, kelompok, satu negara, tetapi permasalahan ekologi ini harus kita atasi bersama.
Mengingat kembali identitas Yogyakarta sebagai kota bagi pesepeda yang mulai terpinggirkan. Bersepeda bisa menjadi bagian gaya hidup go green. Tapi untuk dapat bepergian dengan bersepeda bukanlah hal mudah. Manusia jaman sekarang dituntut untuk dinamis dengan mobilitas tinggi. Selain jarak dan medan yang ditempuh, waktu juga jadi pertimbangan dalam pemilihan alat transportasi. Bike to work atau bike to school mungkin akan baik diaplikasikan untuk jarak dan waktu tempuh yang relatif pendek. Namun jika belum bisa bike to work, paling tidak bike to warung, bike to rumah tetangga, instead of naik motor.
Selain mengurangi emisi gas buang kendaraan bermotor, dengan tidak menggunakan kendaraan pribadi dan memilih menggunakan angkutan umum juga merupakan bagian dari upaya penghematan energi. Dengan demikian tidak perlu lagi mempermasalahkan bahan bakar yang harganya melambung, atau pencabutan subsidi bahan bakar.
Namun tidak dapat dipungkiri memang fasilitas umum juga menentukan apakah masyarakat akan memilih gaya hidup ini atau tidak. Di Yogyakarta jalan khusus sepeda tersedia dibeberapa lokasi, namun ketersediaan trotoar bagi pejalan kaki juga sangat minim. Jikapun ada, trotoar yang berukuran sempit (standar minimal 1,2 meter) mengalami kerusakan disana sini sehingga membahayakan pejalan kaki. Selain itu banyak pedagang yang memilih berjualan ditrotoar. Bahkan kondisi trotoar yang memang sudah sangat memprihatinkan malah dibangun shelter bus yang tentu saja mengganggu kenyamanan dan keamanan pejalan kaki. Belum lagi kemacetan lalu lintas pada jam sibuk mennyebabkan pengendara sepeda motor yang nakal dan tidak sabaran untuk melewati trotoar. Tentu saja hal ini berbahaya bagi pejalan kaki, bahkan bagi pengendara sepeda motor itu sendiri.
Selain itu juga fasilitas kendaraan umum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Angkutan umum dapat diterapkan untuk mengurangi kemacetan, polusi, dan kebutuhan bahan bakar. Namun masyarakat yang masih memilih menggunakan kendaraan pribadi juga pasti punya alasan tersendiri mengapa mereka tidak menggunakan angkutan umum. Selain dinilai lebih cepat dan nyaman, penggunaan kendaraan pribadi masih dinilai sebagai solusi. Disamping mudah mendapatkan kredit kendaraan bermotor, masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi karena masih terjangkaunya bahan bakar, ketersediaan lahan parkir yang memadai dengan biaya parkir masih sangat murah.
PR kita saat ini adalah bagaimana menyususn strategi dan rencana gagasan pengelolaan lingkungan Kota Yogyakarta yang zero waste and emmission, terdesentralisasi dan berbasis komunitas. Permasalahan ini tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pihak produsen saja. Akn tetapi semua pihak termasuk konsumen punya andil cukup penting dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan kesehatan Yogyakarta.
Going green is not that simple, memang. Kuncinya sebenarnya cuma satu: kemauan. Dengan adanya kemauan itulah kita bisa melakukan (meski awalnya sedikit terpaksa) sesuatu yang amat sulit kita lakukan. Jika kita tidak dapat mengurangi polusi yang diracunkan oleh manusia kepada bumi, paling tidak kita tidak menambahnya. Selain mengurangi emisi yang dikeluarkan dari knalpot kendaraan bermotor, berjalan kaki atau bersepeda tentu saja baik untuk kesehatan. Memulai gaya hidup go green bagi kita yang terbiasa abai tentu bukan hal mudah. Bagi yang sudah menerapkannya, patut diacungi jempol dan ditiru. Bagi yang belum, mari kita coba secara perlahan. Meski belum bisa memulai aksi yang besar, tapi paling tidak kita mulai dari diri sendiri dan dari hal yang kecil. Pasti bisa kita wujudkan Yogya berhati nyaman dan berbudaya yang sesungguhnya!!! Do it. Then Fix it As You Go! PAY IT FORWARD to OTHERS around YOU (Teruskanlah itu kepada orang lain yang ada disekitarmu).


No comments

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<