Beberapa waktu lalu, nelayan tradisional di
Bandar Lampung tidak dapat melaut untuk sementara waktu karena adanya red tide atau pasang merah yang menutupi
sebagian perairan Teluk Lampung. Selain itu, kejadian yang acapkali terjadi di
Teluk Lampung ini juga merrugikan pembudidaya ikan keramba. Kejadian serupa
terjadi terakhir kalinya pada bulan Oktober hingga Februari 2013 setelah tahun
2002-2003 perairan Teluk Lampung pernah dilanda blooming alga pyrodinium
bahamense.
Timbulnya blooming
algae pada umumnya disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tingginya
nutrien (nitrogen atau fosfor), cahaya dan kondisi fisik perairan (turbulensi
kolom air). Kombinasi dari ketiga faktor tersebut dapat memicu terjadinya
bloom algae dan hilangnya salah satu
faktor tersebut menyebabkan gagalnya pembentukan bloom. Pada perairan pesisir yang terpengaruhi oleh limbah
domestik perkotaan atau budidaya perikanan seperti Teluk Jakarta, Teluk
Banten dan Teluk Lampung, ketersediaan makanan (nutrien) adalah memadai untuk
terjadinya bloom. Hal ini
kemudian didukung oleh ketersediaan cahaya matahari yang selalu melimpah yang
kemudian dipicu oleh ada tidaknya turbulensi kolom air. Jika air
dalam kondisi tenang, lebih dari 6 jam saja, maka potensi terjadinya bloom menjadi besar.
Kondisi perairan Teluk
Lampung memang sangat memprihatinkan. Tumpukan sampah-sampah menutupi tepian
pantai. Bahkan dibeberapa titik, sampah plastic tampak seperti upaya reklamasi
pantai sehingga diragukan pembiaran atas pencemaran ini apakah suatu kesengajaan
atau benar-benar terjadi secara alami. Para nelayan bahkan Nampak sudah
membiasakan diri dekat keberadaan sampah plastic dan hidup dipantai dengan
tumpukan sampah disekelilingnya. Selain itu, kondisi rumah yang berhimpitan
satu sama lain dan tidak beraturan seperti menjadi ciri khas perkampungan
nelayan di pesisir pantai Teluk Bandar Lampung ini.
Selain masalah sampah, ancaman kelestarian
ekosistem di Teluk Lampung ini adalah kerusakan terumbu karang dan hutan
mangrove. Seyogyanya pemerintah daerah di Lampung lebih serius mempertahankan
keberadaan hutan bakau tersisa. Menurut data yang dilansir dari Republika
(2011), lebih dari 70 persen hutan bakau di Lampung rusak parah. Dari 160 ribu
hektare hutan bakau, lebih dari 136 ribu hekatare telah rusak parah. Hutan
bakau yang tersisa diperkirakan hanya 1.700 ha, namun nasib hutan mangrove yang
tersisa itu juga terancam.Sebagaimana pernah dilaporkan oleh KBR Antara,
menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Lampung, Untung
Sugiyatno penyebab utama kematian terumbu karang di kawasan perairan Teluk
Lampung itu umumnya adalah karena bom-bom ikan yang digunakan para nelayan.
Terumbu karang di Teluk Lampung kini luasnya hanya sekitar 11 ha, yang tersebar
di Pulau Condo (47 ha), Pulau Tegal (98 ha), Pulau Kelagian (435 ha), Pulau
Pahawang (694 ha), Pulau Legundi (1.742 ha), Pulau Sebuku (1.646 ha), Pulau
Sebesi (2.620 ha) dan Pulau Balak (32 ha).
Kerusakan lingkungan ini merupakan tantangan
ditengah gegap gempita kampanye gemar makan ikan dan target Pemerintah Provinsi
Lampung untuk menjadikan wilayahnya sebagai salah satu penghasil utama ikan
nasional. Kejadian blooming algae
seperti di Teluk Lampung menjadi semakin sering terjadi dan ini terkait dengan
semakin melimpahnya ketersediaan nutrien yang disumbangkan oleh aktifitas
manusia di sekitar periran tersebut. Selain menimbulkan kematian ikan, alga
bloom juga menjadikan estetika perairan menjadi rusak dan menurunkan nilai
kegunaan perairan tersebut.
Moore et
al., (2008) menyatakan bahwa anthropogenic yang muncul akibat peningkatan konsentrasi
gas rumah kaca di atmosfer telah terlibat dalam perubahan iklim baru-baru ini, berpotensi dalam perubahan iklim pada skala global
di masa depan. Untuk ekosistem laut dan air
tawar, meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca diperkirakan terjadi dengan meningkatnya suhu permukaan, pH yang rendah, dan menyebabkan perubahan
pencampuran vertikal, upwelling,
curah hujan, dan pola penguapan. Konsekuensi potensial dari perubahan ini untuk
ganggang berbahaya (HABs) telah menjadi perhatian yang relatif
sedikit dan tidak dipahami dengan baik. Peningkatan HABs di
seluruh dunia dan potensi masalah yang lebih besar sebagai akibat dari
perubahan iklim dan pengasaman laut, penelitian besar diperlukan untuk
mengevaluasi asosiasi langsung dan tidak langsung antara HABs, perubahan iklim,
pengasaman laut, dan kesehatan manusia. Penelitian ini akan memerlukan
pendekatan multidisiplin yang memanfaatkan keahlian dalam klimatologi,
oseanografi, biologi, epidemiologi, dan disiplin ilmu lainnya.
Spesies HA
hanya merupakan komponen kecil dari komunitas fitoplankton,
dan tanggapan masing-masing untuk
variasi dan perubahan iklim dapat berbeda dari komunitas
fitoplankton secara keseluruhan. Di laut, HA yang merupakan hal yang penting bagi sindrom keracunan yang melanda masyarakat adalah diatom dari genus Pseudo-Nitzschia (amnesia), dan
spesies dinoflagellata dari Alexandrium genera, Pyrodinium, dan Gymnodinium
(paralitik), Karenia (neurotoksik, dan aerosol
Florida red tide
sindrom pernapasan), Dinophysis dan Prorocentrum
(diarrhetic), dan Gambierdiscus (keracunan
ikan ciguatera). Pada
air tawar, HABs paling
penting disebabkan oleh beberapa
spesies cyanobacteria (ganggang
hijau biru) dari genus
Anabaena, Microcystis, dan Aphanizomenon (keracunan
cyanobacterial) (Kite-Powel et al., 2008). Dalam kedua laut dan sistem air tawar, bagi manusia dan hewan lain, paparan racun
HA hasil dari
makan ikan atau kerang yang
terkontaminasi, minum air yang
terkontaminasi, menghirup aerosol
yang terkontaminasi, atau dengan
menghubungi air yang terkontaminasi.
Selama bulan
Agustus dan September 2007, Chesapeake Bay di Amerika dan anak-anak
sungainya mengalami blooming Cochlodinium polykrikoides (> 104 sel per mililiter) yang
berlangsung hingga menembus ke Samudra
Atlantik. Terjadinya blooming bertepatan dengan periode curah hujan yang
intens dan limpasan stormwater setelah
periode kekeringan musim panas berlarut-larut. Bukti
genetik menunjukkan spesies ini berbeda dari banyak
strain Asia, tetapi mirip dengan strain Amerika
Utara lainnya. Populasi didominasi oleh C. polykrikoides mengambil berbagai senyawa nitrogen untuk mendukung pertumbuhan
mereka dan mampu memobilisasi
tambahan sumber nutrisi organik
melalui hidrolisis peptida. Bioassay menetapkan
bahwa C. polykrikoides berpengaruh pada
ikan dan kerang remaja,
menyebabkan 100% kematian ikan remaja (Cyprinodon variegates) dalam waktu kurang dari 24 jam dan
kematian 20% di Amerika tiram remaja (~ 21
mm, Crassostrea virginica) dalam waktu 72 jam (Mulholland et al., 2009).
Migrasi vertikal diurnal Cochlodinium
polykrikoides juga menyebabkan pasang merah di pesisir perairan Laut Timur
Korea/Laut Jepang pada bulan September 2003. Kejadian ini kemudian diperiksa
dengan menentukan perubahan waktu yang tergantung pada kepadatan hidup
sel dalam kaitannya dengan kedalaman kolom air kedalaman 1400 – 1500 m. Hasil ini menunjukkan bahwa konsumsi nutrient terkait dengan proliferasi C. polykrikoides selama pasang merah lebih banyak dipengaruhi oleh sumber daya nitrogen anorganik daripada senyawa fosfor (Kim, 2010).
sel dalam kaitannya dengan kedalaman kolom air kedalaman 1400 – 1500 m. Hasil ini menunjukkan bahwa konsumsi nutrient terkait dengan proliferasi C. polykrikoides selama pasang merah lebih banyak dipengaruhi oleh sumber daya nitrogen anorganik daripada senyawa fosfor (Kim, 2010).
Pertumbuhan penduduk telah mengakibatkan peningkatan jumlah total
limbah yang dihasilkan. Akibatnya,
kebocoran dan meluap tangki
septik telah menjadi sumber utama
kelebihan nutrien. Nutrisi septictank dapat larut ke dalam air tanah dan mengalir ke badan air yang secara drastis meningkatkan fosfor dan tingkat nitrogen (Barile, 2004). Dengan merenovasi, mengganti dan memperbaiki septic tank dan memperbaiki kualitas sungai, tingkat gizi dapat
dibatasi dalam badan air yang
pada gilirannya juga akan mengurangi HABs.
Bryan W. Brooks (2012) profesor ilmu lingkungan dan studi
biomedis di Baylor dan direktur program pascasarjana ilmu lingkungan dan program
ilmu kesehatan lingkungan, dan tim risetnya menemukan bahwa tingkat
pH netral mencegah pengembangan blooming ganggang dan toksisitas ganggang
itu sangat berkurang. Para peneliti sekarang dapat mengidentifikasi kapan dan di mana blooming
berbahaya mungkin terjadi dan mengembangkan solusi untuk meminimalkan
dampak dari ganggang emas. Menurut Brooks, blooming ganggang emas tampaknya berasal di teluk-teluk kecil yang
mengalami arus masuk lebih rendah dari aliran waduk utama, teluk-teluk kecil
dapat mewakili unit manajemen yang lebih masuk akal untuk
menciptakan habitat dan
berpotensi mendahului pembentukan blooming.
Secara khusus, upaya
penelitian masa depan harus fokus pada pengembangan empiris, teoritis, dan
numerik model simulasi untuk mengintegrasikan pengamatan, pengujian dan
memvalidasi hipotesis, dan membuat perkiraan risiko kejadian HAB dan dampaknya
terhadap kesehatan manusia. Model tersebut
akan memerlukan pengukuran simultan parameter lingkungan fisik dan biologis
yang dibuat melalui pemantauan rutin dan konsisten, dan identifikasi endpoint
kesehatan masyarakat dan
lingkungan. Untuk meneliti potensi ini konsekuensi dari perubahan iklim, tipe baru
gabungan penelitian oseanografi-epidemiologi yang membahas rentang waktu yang
sangat lama dan skala geografis yang luas akan dibutuhkan (Moore et al., 2008).
Hal ini layak diperjuangkan mengingat
besarnya potensi di Provinsi Lampung dan pesatnya perkembangan industri
perikanan di Lampung. Disamping itu, perkembangan industri disekitar Teluk
Lampung juga merupakan ancaman. Pelaku pencemaran lingkungan ‘disandung’ dengan
Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan dan Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Disepanjang
Teluk Lampung terdapat setidaknya dua belas perusahaan. Disadari atau tidak,
perkembangan industry diwilayah pesisir juga berkontribusi dalam pencemaran
diwilayah Lampung. Selain itu pencemaran dapat juga disebabkan oleh empat belas
sungai yang bermuara di Teluk Lampung. Kelemahannya adalah, kadar pencemaran
dan kalkulasi pertanggungjawaban perusahaan-perusahaan tersebut seperti apa
seharusnya. Perusahaan-perusahaan tersebut juga sangat perlu menaati aturan
Instalasi Pembangunan Air Limbah (IPAL) yang baik.
Ganggang berfotosintesis dan menyerap karbon. Hal
ini terkiat dengan pemanasan global yang disebabkan oleh peningkatan tingkat karbon dioksida dapat memiliki efek buruk pada ekosistem global dan manusia. Pemanasan
global yang tidak terkendali tentu saja membutuhkan pemecahan sebagaimana terus
dilakukan oleh orang-orang diberbagai belahan dunia. Sebelum pemerintah berkomitmen untuk mendorong
upaya melawan HABs, manfaat dan biaya penanggulangan pemanasan global harus
diperhitungkan. HABs dapat menyebabkan hipoksia, kematian, dan membunuh ikan di
lingkungan laut dan sulit bagi ekosistem untuk pulih dari bencana ekologis.
Sementara itu, global warming adalah masalah pada skala sekian gigaton karbon
dioksida. HABs tidak memiliki cukup biomassa untuk mengurangi efek berbahaya
dari Pemanasan Global dalam kapasitas yang signifikan. Sebagai kerusakan
ekosistem lokal melebihi manfaat bagi ekosistem global, HABs harus dicegah
untuk meningkatkan kesehatan lingkungan global.
Pendanaan untuk pemantauan HAB dan program peramalan harus
ditingkatkan dalam rangka untuk peringatan dini dan menghindari kerusakan
bioakumulasi neurotoksin dalam makanan laut. Salah satu caranya aja menghindari
nutrisi yang berlebihan. Apakah mungkin bahwa petani tidak akan menggunakan
pupuk kimia buatan karena dikhawatirkan akan menghasilkan hasil panen pertanian
dan perkebunan yang lebih rendah dan harga komoditas lebih tinggi. Membatasi
penggunaan pupuk juga akan secara signifikan merugikan industri agrichemical,
namun hal ini menjadi solusi untuk HABs.
Memelihara dan penanaman kembali hutan dan lahan basah akan
menjadi upaya yang nampaknya layak untuk mengendalian nutrisi. Ekosistem ini
menyerap nutrisi, memulihkan lingkungan, dan menyediakan habitat bagi satwa
liar. Sementara limpasan air yang bernutrisi juga berasal dari peternakan dan
pabrik. Sehingga perlu dilaukan penciptaan model untuk memprediksi dan memantau
HABs dan dengan mempertahankan ekosistem alam serta membatasi aliran nutrisi ke
badan air, dengan demikian dampak ekonomi HABs dapat dihindari.
Teluk Lampung tidak hanya besar
karena di dalam Teluk Lampung ini juga terdapat teluk-teluk kecil yang
tersebar banyak pada bagian barat, sepeti Teluk Ratai, Teluk Punduh, dan Teluk
Pidada. Selain itu juga, Teluk Lampung merupakan satu-satunya teluk yang
dimiliki Provinsi Lampung yang hingga kini masih bertahan karena harus menopang
segala perikehidupan masyarakat Lampung dengan segala perilaku dan kebiasaan
hidup yang cenderung banyak merugikan bagi lingkungan Teluk Lampung. Di
sepanjang wilayah perairan Teluk Lampung ini merupakan pusat segala kegiatan
masyarakat di Provinsi Lampung, baik kegiatan dari rumah tangga, industri, perdagangan,
dan perikanan yang mau tidak mau akan memberikan kontribusi besar terhadap
penurunan kualitas perairan Teluk Lampung. Sampai kapankah Teluk Lampung mampu
bertahan terhadap aktivitas masyarakat yang cenderung merusak tersebut?
Satu hal yang masih saya yakini
adalah bahwa segala sesuatu yang tidak baik pasti dapat diubah menjadi baik,
yang terpenting haruslah ada niat dan upaya untuk memperbaikinya. Angan untuk
memiliki pantai yang bersih, rapi, dan sehat juga akan menghindarkan kita dari
bahaya yang disebabkan oleh bencana ekologis. Demikian juga dengan kondisi
sungai-sungai yang bermuara kelaut. Saya ingat betul bagaimana kondisi pantai
ketika saya melakukan ‘blusukan’ pantai di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung.
Setidaknya kondisinya masih jauh lebih baik dan potensi wisata masih terus
digalakkan, khususnya membidik wisatawan mancanegara yang hobi berselancar.
Belum lagi ketika saya menginjakkan kaki di Pantai Selatan Pulau Jawa,
khususnya Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Ada kebanggaan dan kepuasan
tersendiri melihat ikan-ikan berenang bebas dan pasir pantai yang bersih meski
harus melewati tebing-tebing karst dan semak-semak untuk mencapainya.
Impian ini mungkin agak sulit
lantaran berkenaan dengan masalah sosiologi dan lingkungan. Masyarakat pesisir
sudah terbiasa hidup sedemikian rupa dan memiliki pola pikir yang sangat sulit
diubah. Hal ini menyangkut budaya masyarakat yang belum mampu menghadirkan
kesadaran untuk berperilaku hidup bersih dan sehat. Gerakan massal
digadang-gadangkan mampu mengubah pola hidup seperti ini. Hal ini sudah pernah
dilakukan oleh teman-teman aktivis lingkungan hidup yang melakukan program di
tiga belas kelurahan di Pesisir yang bekerjasama dengan Pemerintah Kota Bandar
Lampung. Sesekali kami masih saja memergoki adanya masyarakat kampong nelayan
yang membuang sampah kelaut. Hal ini juga didukung oleh posisi rumah yang
membelakangi laut sehingga mereka kurang aware
terhadap kondisi laut disekitar rumahnya. Masyarakat juga cenderung
matrealis sehingga dibutuhkan dukungan materi selain daripada upaya turun
tangan dari berbagai elemen masyarat.
Selain itu juga masyarakat pantas berharap
kepada perusahaan-perusahaan untuk dapat ambil bagian sebagai bentuk
tanggungjawab mereka terhadap aktivitas perusahaan yang sedikit banyak
berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan. Masih lekat dalam ingatan
saya ketika saya pernah mengikuti kegiatan kunjungan mahasiswa terbaik yang
disponsori oleh salah satu perusahaan. Disana kami melakukan penanaman
mangrove, memunguti sampah dipantai, dan mendapatkan edukasi dari pihak
perusahaan. Terlepas dari niat untuk pencitraan perusahaan, saya piker hal itu
patut dicontoh oleh perusahaan-perusahaan lain. Tentu saja hal ini tidak luput
dari peran masyarakat, terutama masyarakat pesisir sebagai komunitas terdekat
dari pantai.
Referensi:
Barile,
Peter J. "Evidence Of Anthropogenic Nitrogen Enrichment Of The Littoral
Waters Of East Central Florida." Journal Of Coastal Research 20 (2004):
1237-245.
Baylor
University (2012, December 20). Low Ph Levels Can Eliminate Harmful Blooms Of
Golden Algae, One Cause Of Massive Fish Kills. Sciencedaily. Retrieved July 16, 2013, From
Http://Www.Sciencedaily.Com /Releases/2012/12/121220161753.Htm
Kim Young
Sug, Chang Su Jeong, Gi Tak Seong, In Sung Han And Young Sik Lee2. 2010.
Diurnal Vertical Migration Of Cochlodinium Polykrikoides During The Red Tide In
Korean Coastal Sea Waters Journal Of Environmental Biology September 2010,
31(5) 687-693. Triveni Enterprises, Lucknow (India)
Kite-Powell
H, Fleming LE, Backer L, Faustman E, Hoagland P, Tsuchiya A, Younglove L:Linking The Oceans To Public Health: What Is
The "Human Health" In OHH. Environ
Health 2008, 7(Suppl
2):S6. Http://Www.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/Pubmed/19025677?Dopt=Abstract&Holding=F1000,F1000m,Isrctn
Moore et
al. 2008. Impacts Of Climate Variability And Future Climate Change On Harmful
Algal Blooms And Human Health. Proceedings Of The Centers For Oceans
And Human Health Investigators Meeting. Http://Www.Ehjournal.Net/Content/7/S2/S4
Mulholland, Margaret R.
& Ryan E. Morse & George E. Boneillo & Peter W. Bernhardt&Katherine C. Filippino & Leo A. Procise & Jose L. Blanco-Garcia & Harold G. Marshall & Todd A. Egerton & William S. Hunley & Kenneth A. Moore & Dianna L. Berry & Christopher J. Gobler. Estuaries And Coasts. Understanding Causes And Impacts Of The Dinoflagellate, Cochlodinium Polykrikoides, Blooms In The Chesapeake Bay. DOI 10.1007/S12237-009-9169-5
No comments
Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<