:Untuk Indra
yang mati muda
Mengenang dan mendoakan jiwa-jiwa yang t'lah pergi karena semua yang hidup pasti akan mati. Menyakitkan ketika aku belum sempat memberikan bakti. Kepada mbak kakung dan mbah putri 'bandar', kemudian disusul mbah kakung 'tataan', dan susul menyusul sosok-sosok penuh cinta dan insiratif. Hanya doa, bukan penyesalan yang mereka butuhkan. Hanya doa dan keikhlasan. Semoga kita semua dikumpulkan di jannah-Nya kelak. Allahumma aamiin...
yang mati muda
Mengenang dan mendoakan jiwa-jiwa yang t'lah pergi karena semua yang hidup pasti akan mati. Menyakitkan ketika aku belum sempat memberikan bakti. Kepada mbak kakung dan mbah putri 'bandar', kemudian disusul mbah kakung 'tataan', dan susul menyusul sosok-sosok penuh cinta dan insiratif. Hanya doa, bukan penyesalan yang mereka butuhkan. Hanya doa dan keikhlasan. Semoga kita semua dikumpulkan di jannah-Nya kelak. Allahumma aamiin...
Aku mencomot sebuah kisah dari Dakwatuna.com, monggo disimak.
***
“Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan!”
sebuah sms masuk ke handphone ku, dari salah satu teman sekolahku.
Kalian yang ia maksudkan adalah aku dan putriku. Sedang hal yang
membanggakannya adalah bahwa kami – aku dan putriku – bisa mengikuti
prosesi pemandian hingga pemakaman jenazah tanpa tetesan air mata.
Beberapa
orang kerabat sempat melarangku untuk ikut memikul jenazah ke
pemakaman. Mereka khawatir aku tak mampu menguasai diri. Tapi aku
bersikeras. Kuyakinkan pada mereka bahwa aku baik-baik saja. Aku hanya
meminta pada salah satu kakak ipar untuk mengawalku, berjaga-jaga
apabila ternyata keyakinanku keliru.
Juga ketika sampai di
pemakaman, beberapa kerabat kembali melarangku turun ke liang lahat.
Kekhawatiran yang sama, bahwa aku tak akan mampu menahan diri saat
jenazah diturunkan. Kembali kuyakinkan pada mereka, bahwa aku baik-baik
saja dan dalam keadaan sadar, sesadar-sadarnya. Aku jamin tidak akan
ada air mata apalagi pingsan segala.
Aku sepakat dengan dua kakak
iparku yang ikut turun ke liang lahat. Aku mengambil posisi di sebelah
utara. Aku ingin membuka sendiri kain kafan yang menutupi wajah
almarhumah. Kuakui, bergetar juga hatiku saat itu. Ini adalah
pengalaman pertamaku turun ke liang lahat, dan itu terjadi pada
pemakaman istriku sendiri. Bismillahirrohmanirrohim, aku kuatkan hati
untuk tidak menuruti perasaanku. Kupusatkan perhatian pada arahan yang
diberikan ustadz yang memimpin acara pemakaman.
Perlahan kubuka
tali pengikat kain kafan jenazah istriku. Ada rasa yang tak bisa
kugambarkan dengan kata-kata saat mulai membuka kain yang menutupi
bagian wajahnya. Subhanallah! Allahu akbar! Seraut wajah yang sangat
tenang dan damai terlihat di sana. Bahkan, senyum di wajahnya adalah
senyum yang pertama kali membuat aku jatuh cinta padanya.
Aku
berikan kesempatan pada putriku yang berdiri di pinggir liang lahat
untuk melihat wajah sang ibu terakhir kalinya. Ada mendung menggantung
di kedua matanya, namun kupastikan tak ada air mata yang menetes
darinya. Meski kenyataan ini begitu berat ia terima, namun ia bisa
membuktikan bahwa ia bisa tegar dan tabah.
Kuhadapkan wajah
istriku ke arah kiblat, kupastikan wajahnya menyentuh dinding kubur
yang basah. Kuganjal bagian belakang jenazahnya dengan bantal bulat
yang terbuat dari tanah. Setelah jenazah berada pada posisi yang baik
dan benar, barulah kutinggalkan jenazah istriku.
“Selamat tinggal
sayang, beristirahatlah dengan tenang. Semoga keikhlasanku, keridhoanku
akan memudahkan langkahmu menghadap Sang Pemilik Cinta Sejati. Insya
Allah, di dalam syurga kelak kita kan bersama lagi. Amin”
Hanya
sampai di sinilah kewajiban fisik yang bisa kupenuhi pada orang yang
sangat kami cintai dan sayangi. Proses selanjutnya kuserahkan pada
mereka yang sudah biasa memakamkan. Satu persatu bambu dipasang di atas
jenazah, memberikan ruang agar jenazah tak tertimbun tanah secara
langsung. Dalam hitungan menit, jenazah istriku tak terlihat lagi.
Itulah saat terakhir aku melihatnya di dunia ini. Perlahan tanah pun
dimasukkan, menimbun bambu-bambu yang terpasang rapi. Terdiam, aku dan
putriku menyaksikan cangkulan demi cangkulan tanah basah ini tanpa
kata, dan juga tanpa air mata.
Usai pemakaman, sebagian besar
pelayat langsung pulang ke rumah masing-masing. Tinggal beberapa yang
sengaja menunggu kami kembali untuk kemudian berpamitan. Berbagai
dukungan dan nasihat datang dari keluarga, tetangga, kerabat dan juga
sahabat yang menyempatkan diri, meninggalkan segala aktivitas rutin
mereka untuk memberikan penghormatan terakhir pada almarhumah. Mereka
yang tak sempat berpamitan langsung padaku, menitip salam pada bapak
dan ibu. Ada juga yang berpamitan melalui telepon atau sms. Salah
satunya adalah teman sekelasku. Ketika ku telepon, terbata ia memohon
maaf. Sengaja ia tak menemuiku lagi karena ia takut mengusik
ketabahanku. Ia bangga sekaligus terharu melihat kesabaran, ketegaran
dan ketabahanku, juga putriku. Jelas kudengar suara isak di seberang
sana, sebelum ia berjanji akan datang beberapa hari lagi. Ia butuh
waktu untuk menata hati kembali.
Berbagai dukungan, ungkapan haru
sekaligus bangga, senada dengan sms temanku terus berdatangan sampai
beberapa hari setelah pemakaman. Rata-rata, baik keluarga, tetangga
ataupun kerabat ‘mengakui’ ketabahan dan ketegaran kami. Bahkan ada di
antaranya yang berterus terang mengatakan ingin mencontoh ketabahan dan
ketegaran kami kelak bila ada anggota keluarganya yang meninggal dunia.
Namun ada juga beberapa orang yang agak ‘mempertanyakan’ ketabahan
kami. Paling tidak ada yang mengatakan demikian,
“Waktu istrinya
meninggal, si Fulan boro-boro memikul jenazah dan turun ke liang lahat,
justru berkali-kali ia histeris dan jatuh pingsan. Mungkin karena ‘saking cinta’nya, sehingga Fulan tidak bisa menerima kepergian sang istri yang tiba-tiba”.
Aku
mencoba bersikap wajar dan berpikir positif terhadap apapun yang orang
katakan. Aku tidak merasa istimewa ketika beberapa orang mengaku bangga
dan ingin mencontoh ketabahan kami. Memang sudah demikian mestinya
keikhlasan dan keridhaan diwujudkan. Juga aku tidak ingin berburuk
sangka apabila ada yang memandang tingkat kecintaan pada histeria saat
kehilangan. Mereka tentu tidak bermaksud meragukan kesungguhan cinta
serta besarnya rasa kehilangan, hanya saja mereka melihat sesuatu yang
tak biasa.
Menangis memang salah satu refleksi dari rasa
kehilangan sekaligus kecintaan. Jangankan kita, seorang Rasulullah pun
menangis sedih saat putranya – Ibrahim – meninggal dunia. Setabah
apapun yang orang lihat saat acara pemakaman, sebelumnya kami juga tak
kuasa menahan tangisan. Saat istri dalam keadaan kritis, dzikir dan doa
kami berbaur dengan derai air mata. Begitupun ketika sang dokter
mengatakan bahwa nyawa istri tak tertolong lagi, tangispun pecah. Juga
ketika rombongan kami tiba di rumah, tangis kami luruh terbawa suasana.
Bahkan saat membaca ayat-ayat suci Al Quran di samping jenazah,
beberapa kali aku tak dapat meneruskan karena penglihatan yang kabur
akibat air mata yang menggenang.
Bila orang mengartikan tangisan
sebagai ekspresi rasa cinta, mereka tidaklah salah. Demikianlah adanya,
meski juga tidak selamanya. Dalam pandangan kami, terkadang
sebaliknya, Cinta tak harus menangis. Almarhumah
tidak membutuhkan tangisan kami, ratapan kami. Yang almarhumah harapkan
adalah keikhlasan, keridhaan serta doa-doa dari kami.
***
Ada banyak
hal yang dapat kita lakukan untuk menunjukkan rasa cinta kepada mereka yang telah pergi. Menerima takdir ini dengan penuh keikhlasan, keridhaan.
Mendoakan mereka di setiap kesempatan. Menyelesaikan kewajiban
serta menjaga dan menjalankan amanah yang mereka tinggalkan. Jangan sampai cinta – tangisan dan ratapan – kita justru membebani
langkah-langkah mereka. Jangan kita termasuk orang yang
menangis histeris, meratap di hari pertama, tapi sudah sama sekali lupa
di hari kedua. Apalagi hari-hari berikutnya, terlupa mendoakan karena
sibuk berebut warisan. Na’udzubillah!
No comments
Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<