Masyarakat Bandar Lampung Harusnya Bisa “Beli” Hutan Kota

Masyarakat Bandar Lampung Harusnya Bisa “Beli” Hutan Kota

Penataan ruang kota merupakan upaya perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang yang dilakukan oleh pemerintah kota dengan memperhatikan pertimbangan departemen, lembaga dan badan pemerintah, serta berkoordinasi dengan pemerintah daerah sekitarnya sebagaimana termaktub dalam Undang undang. Salah satu elemen penting dalam penataan ruang kota adalah adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang menurut Perda Nomor 4 tahun 2004 tentang peruntukan RTH dan SK Walikota No 141 tahun 2009 tentang penetapan areal tanah sebagai Taman Hijau Kota. Setiap kota, minimal menyediakan 30% lahannnya bagi RTH. Sedangkan menurut data WALHI Lampung, luasan areal RTH di Bandar Lampung baru mencapai 11 %. Artinya, Bandarlampung masih kekurangan RTH sekitar 3.579 Ha lagi. Selama ini Bandar Lampung baru memiliki 2.319 Ha RTH, itu sudah termasuk lahan Taman Hutan Kota (THK) Way Halim yang akan diesploitasi secara komersil.

THK Way Halim merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang selama ini dimanfaatkan oleh sebagaian besar masyarakat baik untuk kegiatan olah raga, seni dan budaya, penghijauan dan rekreasi. Tidak saja berfungsi sebagai ruang publik, keberadaannya pun menjadi paru-paru kota Bandar Lampung. THK itu telah berfungsi sebagai wahana interaksi sosial yang mempersatukan sebagian besar masyarakat Kota Bandarlampung tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya.

RTH tidak saja berfungsi sebagai penyaring udara kotor, pohon peneduh yang ada sebagai tempat hidup satwa burung/ unggas, penunjang keindahan, memberi kesegaran, kenyamanan, keindahan lingkungan sebagai paru – paru kota, tapi juga memberi lingkungan bersih dan sehat bagi penduduk kota, resapan air, guna menjaga keseimbangan tata air dalam tanah, mengurangi aliran air permukaan ( banjir ), menangkap dan menyimpan air, menjaga keseimbangan tanah agar kesuburan tanah tetap terjamin,dan sebagai tempat sarana dan prasarana kegiatan rekreasi. Penyimpangan penggunaan RTH mengakibatkan menurunnya mutu lingkungan hidup di Kota Bandar Lampung. RTH dapat dimanfaatkan tanpa menimbulkan efek negatif seperti degradasi lingkungan yang konkret.


Kota Bandar Lampung telah lahir sejak tanggal 17 Juni 1682 atau lebih dari 3 abad lalu. Tentu tidak sedikit pengalaman yang dirasakan oleh penghuni Kota Besar ini. Bukan usia yang belia untuk Bandar Lampung berani berpikir dan mengambil keputusan secara dewasa. Pemerintah kota terus dihadapkan pada berbagai persoalan dan beragam tuntutan masyarakat yang harus
diakomodasi. Menurut salah satu sumber, potensi Bandar Lampung menjadi kota metropolitan sangat besar, mengingat potensi SDM dan jumlah penduduk kota tahun pada tahun 2015 saat Bandar Lampung mencapai target sebagai kota metropolitan, diperkirakan
sudah lebih dari 1 juta jiwa.

Dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan kota yang sangat pesat, tentunya kebutuhan akan udara segar dan air juga bertambah. Sementara RTH saja Bandar Lampung terbilang minim. Dengan dikeluarkannya izin Hak Guna Bangunan atas lahan Taman Hutan Kota Way Halim artinya penataan kota Bandar lampung belum dapat dikatakan baik. Dalam surat hak atas tanah yang diterbitkan pada 1 Februari 2010, bernomor HGB no 44/HGB/BPN.18/2010, pemerintah memberikan hak kepada PT Hasil Karya Kita Bersama (HKKB), untuk mengubah kawasan Hutan Kota Way Halim, dari fungsi awalnya sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi perkantoran dan ruko.

Dengan dikeluarkannya surat izin tersebut, pemerintah telah melakukan kelalaian dengan membiarkan surat perizinan alih fungsi tersebut terbit. Pemerintah juga telah melakukan pelanggaran terhadap aturan tentang ketersediaan lahan terbuka hijau dengan penerbitan SHGB itu. Hal itu akan semakin mengurangi ketersediaan luas areal bagi RTH di Bandar Lampung yang saat ini hanya 11% dari luas areal kota. Penerbitan SHGB itu akan mengalihfungsikan lahan Taman Hutan Kota yang sudah hijau, karena dalam SHGB tertulis izin pengalifungsian lahan menjadi ruko selama 20 tahun ke depan. Sebelumnya, pemerintah menyerahkan pengelolaan Taman Hutan Kota Way Halim kepada PT Way Halim Permai (WHP) dan telah habis masa berlakunya pada 2001. PT WHP menguasai 12,6 hektare lahan hutan taman kota. Sejak 2001 hingga 2010, seharusnya hutan kota (lahan terbukan hijau) itu dikembalikan ke negara atau pemerintah kota dalam hal ini, bukan malah diserahkan kepada pihak swasta lagi.

Dalam hal ini, DPRD harus melakukan langkah strategis untuk membantu menyelesaikan masalah hutan kota dan harus disampaikan ke publik sehingga masyarakat tahu perkembangannya. Hingga saat ini dukungan DPRD untuk menyelamatkan hutan kota belum terealisasi. Saat ini kita menunggu upaya konkret DPRD dalam menyelamatkan THK dengan mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin alih fungsi lahan tersebut kepada pemerintah kota. Dalam hal ini terlihat adanya pelanggaran aturan, pembiaran, dan ada penyalahgunaan wewenang.

Hak Guna Bangunan yang yang kini dimiliki PT HKKB juga tidak sesuai dengan Tata Ruang Wilayah Kota Bandar Lampung dan Perda Kota Bandar Lampung No. 04 tahun 2004 tentang Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung tahun 2005 – 2015.Selain itu berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Pasal 61 bahwa Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib (a). Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; (b). Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang. Sedangkan menurut Pasal 73 bahwa (1) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang , dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan inti kebijakan pembangunan di kota yang akan berdampak langsung pada perubahan ruang kota secara social, fisik, maupun ekologi. Prinsip pembangunan daerah yang berkelanjutan (Sustainable) harusnya menjadi dasar dalam pembangunan suatu wilayah sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UU No 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Jadi pembangunan kota tidak seharusnya berorientasi pada alih funsi lahan yang saat ini makin marak terjadi yang mengundang respon beragam dari masyarakat. Belum apa – apa saja keputusan untuk berpihak kepada investor dari pada melindungi hajat hidup orang banyak telah menuai protes dimana – mana. Terlebih lagi pembangunan yang dilakukan tanpa berpikir panjang tersebut hanya akan memperburuk kondisi ekologi Kota Bandar Lampung.
Permasalahan ini melibatkan banyak pihak, seperti Pemerintah Provinsi Lampung sebagai pemilik lahan dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hingga saat ini status tanah di Hutan Kota masih belum jelas, apakah milik PT Hasil Karya Kita Bersama (HKKB) atau milik Pemerintah. Pada akhirnya semua masalah ini menimbulkan konflik sosial diantara masyarakat sendiri, masyarakat dan pemerintah maupun masyarakat dan pengusaha.
Menyikapi ekploitasi Taman Hutan Kota (THK) Wayhalim yang akan dialihfungsikan, Koalisi rakyat peduli taman Hutan Kota muncul sebagai respon bahwa masyarakat Bandar Lampung masih menginginkan THK untuk dipertahankan sebagai RTH. Kita semua pantas untuk bersikap skleptis karena memang wajar saja jika kita berpikir ada apa sebenarnya dibalik upaya alihfungsi RTH tersebut? Padahal jelas, peruntukan THK sebagai RTH sudah dilindungi undang – undang, bukan untuk dikomersialisasikan dengan PAD yang tidak seberapa nilainya yang masuk ke kas pemerintah kota.

Jika PT HKKB hanya mampu membeli hutan kota dengan membungkam pemerintah kota dengan menyumbang Rp. 53 juta saja sebagai PAD, maka masyarakat pun seharusnya dapat menebusnya dengan harga yang lebih mahal jika saja seluruh warga Bandar Lampung ini bahu membahu mengumpulkan uang untuk merebut kembali Hutan kota yang telah luput dari kepemilikan pemerintah kota. Jika memang pemerintah menginginkan ada anggaran yang masuk ke kas Pemerintah Kota, Masyarakat Bandar Lampung pasti dapat membeli lahan tersebut demi kelestarian ekologi dan tersedianya RTH bagi masyarakat Bandar Lampung.

India saja dapat menyediakan lahan seluas 112.937 meter persegi di pinggiran Kota Mumbai yang dikenal sebagai ”silence zone” atau zona ketenangan. Di Shijavi Park tersebut terdapat fasilitas gymnasium, taman untuk anak, lansia, hingga perpustakaan. Semua itu tak lain agar masyarakat dapat bernapas lega tanpa dihimpit gedung – gedung pencakar langit. Terjamin kebebasannya berekspresi diruang terbuka tanpa harus ada air conditioner sebagai bukti bahwa udara kita telah kotor dan suhu bumi yang meningkat. Mengapa Bandar Lampung tidak bisa menyisihkan 30 % saja lahannya dari komersialisasi sebagai cerminan dari kerakusan materi demi kemaslahatan bersama??

Pentingnya keberadaan Ruang Terbuka Hijau tentunya akan membuat semua pihak berupaya untuk melakukan penyelamatan terhadap kondisi Taman Hutan Kota. Untuk itu masyarakat dan para pemangku kepentingan Kota Bandar Lampung harus berpartisipasi aktif dalam melakukan pengawalan terhadap proses lahirnya kebijakan yang sering kali kurang bijak dan pembangunan kota yang tidak bersinergi dengan kebutuhan masyarakat dan keberlanjutan ekologi. Dengan demikian asset yang ada akan tetap terjaga atas nama masyarakat, bukan atas nama pengusaha si ini- atau si-itu. Dalam pembangunan wilayah, perlu dijaga harmonisasi ruang atas semua kondisi, kepentingan, makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang juga mempegaruhi tatanan kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya yang tidak dapat dipungkiri akan adanya saling ketergantungan. Yakinlah bahwa harapan masih selalu ada. Belum terlambat untuk meneriakkan dengan lantang pekik suara rakyat mempertahankan asset dan kepentingan bersama.

Rinda Gusvita

No comments

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<