Carut Marut Asaku…

Carut Marut Asaku…

Aku ingin begini, aku ingin begitu
Ingin ini ingin itu banyak sekali
Semua semua semuuuuaaaa
Dapat dikabulkan
Dapat dikabulkan dengan kantong ajaib…

“Ah…seandainya saja Doraemon itu nyata adanya. Dan aku berperan sebagai Nobita yang selalu saja dibantunya…mendapatkan apa saja yang diinginkannya…”

Sesekali membandingkan kebodohan dan kesialan yang kerap dialami Nobita selalu saja dapat teratasi oleh baby sitternya, robot kucing abad 22 itu dengan nasib diri ini. Ah tidak, terlalu berharap semua itu terlalu muskil (bukan sempurna, bahkan jauh dari sempurna). Kehidupan Nobita yang selalu bergantung pada bantuan Doraemon. Nasib sialnya jika berurusan dengan duo Suneo-Giant, terlebih jika harus beradu fisik dengan Giant. Perasaannya kepada Shizuka yang sulit sekali rasanya untuk mempercayai bahwa suatu saat akan terbalaskan. Belum lagi prestasi akademiknya yang amat sangat payah. Cengeng. Dan sederetan lagi takdir buruk seorang Nobita yang timbangannya jauh lebih berat daripada takdir baiknya lantaran selalu didampingi oleh Doraemon.

Anime yang tidak pernah bosan kutonton sejak jaman baru aku mengenal televise dan komik hingga saat ini dimana orang masih mencemooh tontonanku yang semacam itu (Doraemon, Curious George, Glies, Shaun The Sheep, One Piece, etc). Tapi terkadang melalui tontonan semacam itu aku sendiri dapat lebih menilai diri (Baca:muhasabah) daripada sekedar untuk hiburan. Aku dapat lebih memahami dan menghargai gaya berpikir orang lain dari pada sekedar memuji kepintaran Gorge ataupun mencemooh kedunguan Oscar. Melalui tontonan semacam itulah aku dapat berselanjar dalam dunia imaji, meruntun peristiwa demi peristiwa untuk dapat selalu diambil ibrahnya.

Termasuk saat ini. Disaat teman – teman (seumuranku) sedang sibuk mencari pekerjaan kesana – kemari, tunduk dan patuh pada atasan meski terlihat berwibawa dan perlente, atau bahkan sudah mengurus rumahtangga, aku justru disibukkan dengan wisata jiwa yang penuh dengan tantangan. Mempelajari mengenai aturan dan undang – undang pertanahan daripada sekedar mengolah hasil bumiyang ditanam dilahan konflik, atau bahkan lantaran dapat membodohi masyarakat kecil dengan iming – iming ‘uang jajan’. Memahami bahwa kondisi air di wilayahku ini makin kritis daripada sekedar berpikir untuk mengusahakan banyaknya investor industry air mineral yang berekspansi sepertihalnya perluasan lahan pertanian sawit yang tidak dapat menyimpan air tanah untuk makhluk hidup yang lain. Memikirkan masalah sampah yang tak kunjung ada habisnya dan bahkan telah membentuk pulau yang tak lama lagi siap dihuni, daripada terus mengupayakan terobosan baru untuk menghasilkan kemasan – kemasan yang apik yang dapat mempertahankan kualitas produk. Atau bahkan bangga dengan pesatnya industry pertambangan ditengah masalah kurang awarenya pengusaha akan keselamatan dan hajat hidup masyarakat sekitar. Kota yang makin terlihat maju dan metropolis dengan melihat banyaknya bangunan pencakar langit sementara untuk menyediakan ruang terbuka hijau minimal 30% dari luas wilayah saja tak sanggup. EGOIS!!!

Berat memang. Memikirkan nasib banyak orang ketika dihadapkan antara konflik idealism dan realism. Ketika berbicara lantang membela keberlanjutan kehidupan versus perut yang kelaparan. Ketika keilmuan yang dimiliki tidak cukup dalam untuk berargumen dengan kejamnya dunia nyata. Dengan birokrasi yang diboncengi pemikir – pemikir dan penganalisa hebat yang dapat melakukan apa saja untuk melancarkan hasrat mereka. Budaya ketimuran yang sudah tak lagi mampu mengangkat derajat dan potensi kearifan local. Jangankan politikus yang memang sudah jelas berada pada koridor dunia politik, tokoh agamapun dapat dengan lantang mengusung masalah perpolitikan daripada sekedar berupaya memperbaiki moral bangsa.

Sesekali aku berterimakasih atas kesempatan yang Tuhan berikan kepadaku untuk menilik lebih dalam kehidupan orang – orang pinggiran. Tinggal dalam gubuk berlantai tanah, berdinding papan, dengan terpaan angin malam yang menembus celah – celah yang tidak dapat dikatakan sempit didinding itu, berpijak pada lantai berpasir (bukan tanah yang padat, tapi pasir). Meski demikian mereka tampak begitu damai tinggal dirumah itu meski tanpa fasilitas MCK yang memadai. Anak – anak dapat bermain dengan riang tanpa takut dihimpit jadw al les ini-itu. Orang – orang tua yang dengan tenang bekerja disawah atau ladang tanpa harus berkejaran dengan wartawan lantaran celanya terbongkar. Kaum ibu yang dengan keyakinan penuh memasak hasil dari hasil kebunnya sendiri tanpa takut akan bahaya pengawet bahan pangan ataupun residu pestisida. Kemurnian kehidupan mereka sudah tergaransi.

Dibelahan wilayah yang lain ada yang hidup dalam kawasan terlarang meski telah berupaya melakukan rehabilitasi dengan kekuatan mereka sendiri. Dihibur oleh suara – suara binatang dan serangga malam, bukan hiruk pikuk keramaian mall atau café. Dengan penerangan seadanya berupaya menyiapkan amunisi untuk perjuangan esok hari. Bangun pagi – pagi sekali, bermesraan dengann Rabb-Nya setelah membasuh diri dengan air gunung dan udara dingin yang membuat gigi gemeretak. Menempuh 2-3 jam dengan berjalan kaki untuk tiba di perkampungan dan menjual hasil panen mereka, atau 1 jam dengan cara ‘manol’(ojeg,red).

Pengalamanku yang lain adalah ketika manusia harus berbagi tempat yang sama untuk mandi dengan lembu. Ditempat itu pula warga berkumpul, bersilaturahmi, ketika bersama – sama mencuci pakaian atau membuang hajat. Harmonis. Anak – anak mereka dibiarkan bermain dikubangan lumpur yang sudah bercampur kotoran ternak tanpa ada kekhawatiran serangan penyakit atau sekedar gatal – gatal. Kaum nenek yang rela mengurus cucunya dan hidup seadanya lantaran ibu-bapaknya pergi merantau mencari nafkah, meski ada yang bahkan pulang tinggal jasad.

Ironi memang. Tapi paling tidak dengan carut marutnya targetan – targetanku paska graduasi ini, aku dapat membuka mataku lebar – lebar dan melihat dengan mata kepalaku carut marut negeri ini.

Banyak yang bertanya
aku ini mau jadi apa?
nggak kuliah juga nggak kerja
tapi kujawab inilah aku apa adanya
tapi jangan kira
aku gak berbuat apa-apa
aku berkarya dengan yang ku bisa
dan yang penting aku bahagia
yang penting aku gak nipu
gak bikin susah kalian
yang penting gak terlibat
3… 7… 8

Belakangan ini (tepatnya sejak empat bulan silam) aku begitu menyanjung lagu ini. ‘gue banget, gitu’…haha… meski aku belum berhasil kuliah lagi, pekerjaan yang kudambakan juga tak kunjung datang berpihak padaku, aku tak sekedar meracau mencaci nasib. Karena Rabb-ku tahu apa – apa yang terbaik bagiku. Yang aku yakini bahwa rencana-Nya begitu indah tertulis untukku. Aku hanya tinggal menunggu. Ya, menunggu semua kesuksesan itu datang menghampiri dengan banyak belajar. Belajar mensyukuri hidup. Belajar hardlife survival (bukan jungle survival,red). Sembari mempelajari maksud tumpukan tulisan – tulisan cerdas yang dipublikasikan secara masif dan dipaparkan dengan gamblang melalui berbagai media. Memahami undang – undang, pp, ataupun regulasi lain semacamnya demi mencari peluang, celah, bahkan kekuatan dibalik itu. Karena semuanya dibuat oleh manusia yang tak luput dari kealpaan. Bukan seperti Al Quran yang ditulis dengan anggun bak surat cinta yang berlaku sepanjang zaman tanpa ada masa kadaluarsa.

Terimakasih Tuhan, Kau pertemukanku dengan ramadhanMu kali ini. Meski banyak cemooh yang menggodaku (iiihhh…mutung banget sich lo??!;makin ‘ndud, dech kayaknya!!!). terimakasih Kau anugerahkan kehidupan yang lebih baik kepadaku, padahal aku selalu mengeluh. Terimakasih Kau berikan aku begitu banyak kesempatan padahal aku sering ciut dengan lirikan, picingan, dan bisik – bisik oranglain yang menganggapku remeh. Terimakasih Kau bukakan mata dan hatiku akan kebaikan, kepalsuan, dan jawaban dari berbagai pertanyaanku (meski belum sepenuhnya menjawab rasa penasaranku). Terimakasih Kau yakinkan kepadaku siapa – siapa saja yang dapat benar kupercaya, dengan ketulusan, bukan hanya topeng semata. Perlahan, tapi pasti Kau pertemukan mozaik – mozaik hidupku yang tercecer. Meski tertatih, Kau selalu menuntunku menuju maturitasku. Tetaplah disini, disisiku, dengan segenap curahan kasihMu.

Suatu saat nanti, target – target itu akan mencapai puncaknya. Dan senyum bangga dari bibir orang – orang yang menyangi dan kusayangi akan menjadi doping tersendiri bagi pergerakanku. Ada kalanya perlahan, bahkan kadang mengalami akselerasi,dengan keyakinan berfluktuasi kutempuh jalan yang telah Kau gariskan ini dengan sepenuh hati. DemiMu, demi mereka juga yang belum pernah kubahagiakan. Hujani aku dengan curahan RahmatMu. Sinari aku dengan CahayaMu. Bimbing aku selalu dengan KasihMu.

Lembah Asa, 4 Ramadhan 1432 H @9:52 PM
-Adnir Vita-

No comments

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<