Menggugat keberadaan pemuda

"Berikan aku sepuluh pemuda maka akan aku guncangkan dunia”, kalimat yang diucapkan oleh Bung Karno ini adalah kesadaran dari sang proklamator bagaimana ia memberikan apresiasi akan peran dan dahsyatnya potensi pemuda. Pemuda merupakan sendi kekuatan yang telah menjadi motor penggerak dan agen peubah dalam membentuk wajah sebuah negara.

Sejarah bangsa memberikan fakta bahwa bangsa indonesia bukanlah bangsa yang besar hanya karena sumber daya alamnya yang melimpah ataupun posisi geografisnya yang menguntungkan semata, namun meliputi jiwa kepemimpinan pemuda indonesia. Lalu mengapa seakan-akan kebesaran bangsa indonesia semakin tenggelam, terkubur ditengah-tengah gemerlapnya era globalisasi. Nampaknya memang terdapat kesalahan dalam proses
regenerasi bangsa yang telah membuat pemuda menjadi kehilangan peran dan kekuatannya dalam meneruskan pendahulu bangsa indonesia.

Bagaimana kondisi pemuda saat ini? Sejauh mana keterlibatan pemuda secara langsung dalam pembangunan ekonomi di Lampung khususnya? Mengapa justru demo atau sikap apatis yang mewarnai kiprah pemuda. Hal ini dimungkinkan karena terjadi kurangnya transfer informasi atau kurang transparansinya atau bahkan tidak sampainya opsi yang diambil pemerintah, terutama tentang program pembangunan. Demo ada yang memang bergerak murni untuk rakyat.

Beberapa orang menyatakan bahwa kekerasan di kalangan pemuda dikarenakan kurangnya pelajaran budi pekerti, namun yang lainnya tidak sepakat, karena yang telah mendapat pelajaran budi pekerti pun tidak kalah bobroknya. Selain persoalan kekerasan, juga pengangguran yang sangat besar di kalangan pemuda merupakan hal lain yang perlu diperhatikan. Kebebasan dari ketidak-adilan perlakuan hukum, keserakahan (korupsi), konflik sosial, kebodohan, kesehatan, dan kemiskinan ternyata belum sepenuhnya. Dari sisi kemiskinan antara lain terlihat dari angka pengangguran khususnya di kalangan pemuda.

Miris sekali demi melihat fenomena yang sering saya jumpai dijalanan. Beragam tingkah laku negatif manusia. Mulai dari tidak adanya kesadaran kecintaan terhadap lingkungan, penghargaan terhadap orang lain, sampai perilaku amoral yang sering terjadi.

Contoh lain adalah pengamen yang sering saya temui di bus ketika pulang dari kampus. Apa mereka tidak malu menjual suara merdu mereka untuk beberapa batang rokok, atau tas pinggang, sepatu, pakaian yang semuanya merupakan merk terkenal? Dikemanakan harga diri mereka? Badan mereka nampak kokoh. Apakah mereka tidak malu menengadah sedangkan diperempatan jalan anak – anak kecil dengan pakaian kumal, tanpa alas kaki dan wajah penuh harap berjualan koran sebelum berangkat kesekolah. Atau nenek – nenek yang seharusnya duduk santai dan beristirahat dirumah tapi malah berjualan kacang rebus yang tidak laku – laku?

Juga para pemuda yang tiap pagi kerjanya hanya nongkrong – nongkrong ditemani sebotol minuman dan sebatang rokok. Anak – anak bolos sekolah yang nampak sangat tidak ingin duduk dibangku sekolah, menerima pelajaran untuk persiapan hari depan mereka. Kalaupun berada disekolah, mereka hanya membuat kasus, tidak mengerjakan PR, atau mencari – cari alasan untuk tidak ikut jam pelajaran atau les tambahan.
Pemuda juga juga sering dijadikan sebagai sasaran justifikasi. Pemuda sering dikhawatirkan bakal jadi beban pembangunan. Tingginya angka kejahatan dan penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh pemuda menjadi parameternya. Pemuda sebagai sumber keresahan, pemberontak, dan sebagainya. Pada salah satu sisi, akan terjadi depresi bahkan merasa seperti warga tak berguna. Tidak jarang lalu nekad melakukan tindakan kriminalitas. Disisi lain, pengangguran merupakan pemborosan sumberdaya khususnya sumberdaya, beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dan hambatan pembangunan jangka panjang.

Perlu disadari bersama bahwa masa muda merupakan ruang optimalisasi diri, bagaimana pemuda mengoptimalkan potensi dirinya tanpa dikte dari sebagian besar golongan tua yang seakan-akan menganggap dirinya lebih tau, lebih bisa dan lebih memahami segala hal. Tanpa disadari perbuatan ini hanya akan mengekang kemampuan yang dimiliki hingga akhirnya pemuda hanya menjadi penerus sistem yang ada tanpa dapat memperbaiki ketidaksesuaian sistem lama dengan era yang ada sekarang. Diberikannya kesempatan dan bimbingan kepada pemuda untuk mengoptimalkan kemampuan dirinya akan mengoptimumkan peran pemuda bagi bangsa ini.

Selain itu, pemuda mempunyai ruang kepercayaan diri. Namun yang terjadi saat ini adalah cenderung tidak didengarnya dan tidak dipercayanya pemuda. Hal ini telah membunuh kepercayaan diri pemuda dalam berinovasi. Padahal inovasi merupakan sesuatu yang menjadi tuntutan era globalisasi ini. Kemampuan yang dimiliki pemuda bukan sekedar lahan eksploitasi kepentingan hingga akhirnya hanya menciptakan generasi muda yang menjadi objek “tradisi” usang dan pada tingkatan tertentu meruntuhkan kepercayaan diri pemuda karena batasan dalam berinovasi tersebut. Kemampuan inovatif pemuda harus didengarkan dan diberi kepercayaan sehingga dapat melahirkan kepercayaan diri dalam berinovasi beriringan dengan tanggung jawab diri.

Pemuda mempunya potensi sebagai leader dalam mengemudikan suatu komunitas dengan jiwa good leadership yang mampu melawan arus globalisasi, bukan pemuda yang terus menerus berada dalam sekat-sekat tradisi lama yang diwariskan dengan dikte dan paksaan. Saya pikir, persoalan ini berakar pada dua hal. Pertama, adanya oknum – oknum tertentu yang menyetting pemikiran para pemuda sehingga tunduk pada suatu hal tanpa pengkajian mendalam mengenai apa – apa yang ditransfer kepada mereka. Kedua, adanya kemauan dalam diri para pemuda itu sendiri untuk disetting. Hal ini dikarenakan adanya “kiblat tertentu” pada pengaturan dalam kehidupan para pemuda. Dalam organisasi kepemudaan atau kemahasiswaan misalnya. Masih sering saya jumpai adanya KKN mulai dari perekrutan anggota, pengambilan keputusan bersama, pelaksanaan program kerja, sampai laporan pertanggungjawaban. Teknis yang dibuat sedemikian rupa sehingga sama persis dengan apa yang diturunkan oleh pendahulu mereka diorganisasi tersebut. Ini membuktikan bahwa mereka adalah orang – orang yang kurang berpikir kritis, realistis, dan kreatif. Kampus adalah sarana pembelajaran. Bagaimana Negara tidak mau hancur jika calon pemimpinnya didik hanya sebagai “operator pasif” semata, bukan “teknisi”.

Memang begitu banyak tantangan yang dihadapi oleh para pemuda dewasa ini. Tantangan-tantangan itu semakin hari semakin berat jika tidak diantisipasi sejak awal. Terutama sekali karena dalam era sekarang telah memungkinkan (bahkan memaksa) setiap orang untuk saling bertarung, memperebutkan dan diperebutkan. Dalam hal pemberian jabatan tertentu misalnya. Orang yang telah mendapatkan posisi strategis pada suatu jabatan cenderung melupakan janji – janji manis yang pada awalnya mereka lontarkan. Ketika seseorang telah memperoleh apa yang ia inginkan (baca : jabatan) sering mengesampingkan kepentingan umum dan tidak adanya program kerja yang kreatif yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Mungkin mereka lupa bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya dihari akhir kelak.

Dari paparan umum dan sederhana di atas tampak bahwa tuntutan yang kita hadapi bukanlah semata-mata bagaimana menumbuhkan sumber daya manusia yang terampil belaka. Keterampilan dan penguasaan teknologi merupakan tuntutan kemajuan zaman adalah salah satu kebutuhan agar dapat bersaing dalam mencapai prestasi. Yang juga kita butuhkan adalah suatu budaya yang memungkinkan tumbuhnya manusia yang kritis, berpikir merdeka (meminjam jargon salah satu mass media / Pers Mahasiswa), sadar hukum, punya kepekaan yang tinggi terhadap persoalan di sekitarnya, dan berwawasan luas.
Tapi akan sangat keliru jika hanya pemuda saja yang dituntut untuk meningkatkan kualitas mentalnya. Pemuda juga berhak menuntut suatu kondisi yang kondusif bagi berkembangnya mentalitas yang baik. Pembinaan mental pemuda tanpa dibarengi pembenahan persoalan-persoalan struktural adalah suatu kesia-siaan. Pembinaan yang terbaik tak bisa dilakukan hanya dengan justifikasi, cercaan, himbauan, ceramah atau penyuluhan yang terkesan “mengajari” saja. Yang dibutuhkan untuk membina pemuda justru keteladanan orang-orang dewasa dan pelaksanaan hukum demi keadilan.
Penanaman kesadaran dalam pembangunan kepribadian bangsa dipadukan dalam sasaran pembangunan nasional dan daerah, baik melalui proses pendidikan maupun sistem pemerintahan secara umum. Perkembangan era globalisasi dan ilmu pengetahuan, merupakan kekuatan dalam mengembangkan kepribadian pemuda. Di tangan para pemudalah masa depan bangsa di tentukan. Karena itu Indonesia harus memastikan generasi mudanya mampu menjawab tantangan dan serta dapat membawa perubahan dan kemajuan dibanding generasi sebelumnya. Pemuda adalah agen penggerak sekaligus agen peubah(agent of change). Hal ini dikarenakan jiwa muda sanggup dan berpotensi dalam menanggung beban-beban amanah. Generasi muda juga memiliki andil yang besar untuk bangsa dan tanah air indonesia ini. Sekali lagi, pemuda adalah generasi-generasi yang ampuh dalam melakukan perubahan. Perubahan kearah yang lebih baik tentunya. Sejarah telah menjadi bukti. Kontribusi pemuda tidak diragukan lagi pada masa perjuangan kemerdekaan, revolusi, reformasi, dan dari masa ke masa. Wallahua'alam bishowab…

Saya membuat tulisan ini bukan dalam rangka peringatan hari sumpah pemuda, kebangkitan nasional, pendidikan nasional, atau apapun. Karena seyogyanya semangat yang terkandung dalam hari – hari besar tersebut hadir dalam diri tiap individu setiap saat. Saya menulis ini karena kondisi yang saya lihat semakin hari semakin membuat saya geleng – geleng kepala dan beristighfar. Tidak lain sebagai sarana mengingatkan dan memotivasi diri dan orang lain.
(Vita R.G.)
Geram, 24022010 11:20 PM

No comments

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<