Perkembangan penelitian di bidang bioenergi, bukanlah barang baru di dunia ini. Setelah sempat booming di Indonesia dengan ditandainya program besar – besaran penanaman jarak pagar, kini nampakknya muncul lagi issue ini. Proyek yang bisa dibilang mati suri (jika tidak ingin dikatakan gagal) telah menyita (lagi) perhatian para petani untuk kembali bertanam jarak pagar.
Riset di bidang biodiesel terus berkembang dengan memanfaatkan beragam lemak nabati dan hewani untuk mendapatkan bahan bakar hayati dan dapat diperbaharui (renewable). Biodiesel merupakan bahan bakar yang memiliki sifat menyerupai minyak diesel/solar. Bahan bakar ini ramah lingkungan karena menghasilkan emisi gas buang yang jauh lebih baik dibandingkan dengan diesel/solar, yaitu bebas sulfur, bilangan asap (smoke number) yang rendah, memiliki cetane number yang lebih tinggi, pembakaran lebih sempurna, memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin dan dapat terurai (biodegradable) sehingga tidak menghasilkan racun (non toxic), asap buangan biodiesel tidak hitam, tidak mengandung sulfur serta senyawa aromatic sehingga emisi pembakaran yang dihasilkan ramah lingkungan serta tidak menambah akumulasi gas karbondioksida di atmosfer sehingga lebih jauh lagi mengurangi efek pemanasan global atau banyak disebut dengan zero carbondioxide emission.
Tak hanya krisis energi. Beragam isu lingkungan, seperti kerusakan lapisan ozon, efek rumah kaca, hujan asam, global warming, dan sampah menjadi isu yang kian bersahabat di telinga kita untuk diperangi. Pemakaian bioenergi yang sangat ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar fosil menjadi salah satu faktor pendorong yang kuat agar bioenergi diterapkan di dunia secara masif akhir - akhir ini.
Namun, tantangan yang dihadapi Indonesia dalam penyediaan atau pengembangan energi alternatif ini tidaklah mudah. Tantangan terbesar bersifat ideologis, terutama persaingan pangan versus energi (food vs fuel), kontroversi ramah lingkungan dari bioenergi sampai kepada dimensi kebijakan yang sering kali kurang bijak dalam upaya mempersatukan derap langkah segenap instansi pemerintah, akademisi, dan masyarakat dalam mencapai tujuan kebijakan yang telah digariskan.
Pangan vs energi
Tantangan semakin terasa sejak tahun 2007 ketika permintaan bioenergi didunia semakin besar. Hal ini melambungkan harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) dunia dan membuat sengsara konsumen minyak goreng di dalam negeri. Sulit terbayangkan apabila harga-harga minyak nabati dunia terus melambung dan pasti memengaruhi struktur pasar dalam negeri di negara-negara berkembang. Debat publik tentang dampak biofuel terhadap nasib penyediaan pangan dan perubahan iklim masih terus berkembang ramai. Masyarakat dunia sadar bahwa tidaSkeptisme para peneliti pangan dan pejuang lingkungan hidup untuk mengatasi pemanasan global adalah tantangan besar bagi mereka yang bertanggung jawab terhadap penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati.
Di sisi lain, sektor bioenergi menawarkan peluang kerja dan pertumbuhan ekonomi pedesaan. Karena 70 persen masyarakat miskin ada di pedesaan, secara umum dampaknya akan positif untuk akses pangan. Sebaliknya, masyarakat urban yang net-konsumen akan dirugikan. Oleh karena itu, kenaikan harga pertanian akibat produksi bioenergi akan berdampak pada aksesibilitas pangan bagi sebagian masyarakat, setidaknya dalam jangka pendek. Situasi seperti ini mestilah berujung pada penyesuaian upah pekerja urban. Ekspansi penggunaan komoditas pertanian untuk produksi biofuel, jika tidak dilakukan dengan arif, akan menurunkan pasokan pangan dan meningkatkan volatilitas harga pangan dan pakan, kenaikan harga secara kontinu, dan risiko lingkungan. Faktor-faktor tersebut dapat mengganggu stabilitas ketahanan pangan, khususnya untuk konsumen dengan pendapatan rendah.
Beberapa waktu yang lalu, kita dikejutkan dengan masalah krisis pangan dunia yang terkait dengan perebutan lahan dengan penanaman tanaman bioenergi. Padahal menurut catatan pemerintah (Sambutan Menko Kesra, 2006) di Indonesia terdapat 25 juta hektar hutan gundul dan lahan kritis, sedangkan jumlah lahan yang rencananya digunakan untuk penanaman bioenergi hanya 6 juta hektar. Lantas apa yang salah? Kenaikan minyak goreng pada waktu yang lalu di Indonesia bisa jadi dipicu karena adanya “perebutan” stock, yang seharusnya untuk pangan menjadi untuk biodiesel. Jumlah lahan kelapa sawit seluas 0,1 juta hektar (2006), 0,4 juta hektar (2007), dan 0,6 juta hektar (2008) yang disiapkan pada ketiga tahun tersebut belum menghasilkan hasil CPO (Crude Palm Oil) yang berarti, sedangkan euphoria biodiesel tengah berlangsung. Bagian untuk pangan akhirnya menjadi ikut terambil. Begitupun dengan hasil panen tanaman kedelai dan jagung yang terjadi di AS.
Kasus food vs fuel akan selalu menjadi teror ketika jenis tanaman yang dikembangkan berjenis edible-oil (bisa dimakan) seperti kelapa sawit, tebu, atau singkong. Sehingga, untuk menghindari terjadinya kasus ini adalah dengan mempertimbangkan kembali jenis tanaman yang akan dibudidayakan. Walaupun Indonesia berpotensi sebagai produsen kelapa sawit terbesar, namun bukan berarti harus jenis itu yang harus dikembangkan. Kelayakan jumlah lahan, kondisi hara tanah, dan kebutuhan konsumsi pangan masyarakat juga harus menjadi pertimbangan. Indonesia merupakan negara terkaya di dunia akan plasma nutfah di daratan dan lautan. Potensi keanekaragaman hayati tumbuhan Indonesia, memungkinkan untuk ditanami beragam tanaman non-pangan yang mampu tumbuh di lahan kritis/tandus atau rawa pantai, dan sekaligus mampu mengembalikan hara tanah. Tanaman seperti ini contohnya adalah Jarak Pagar (Jatropha curcas) yang dan Nyamplung (Callophyllum inophyllum). 1 Ha tanaman jarak pagar dapat menghasilkan 4-9 ton biji dengan rendemen minyak 20-30%, sehingga dapat diperoleh 0,8-2,7 ton minyak jarak kasar (Departemen Pertanian, 2006). Tanaman ini mulai berproduksi pada usia 6 bulan-9 bulan, dapat tumbuh di lahan tandus dan kritis, dapat menghijaukan lahan tandus, serta hama dan penyakit dapat terkendali (Prihandana, 2006). Bioenergi sebenarnya juga sangat efektif jika diaplikasikan pada limbah industri dan pertanian, seperti ampas tebu (baggase), molase, bungkil jarak, dan sebagainya untuk diproses menjadi bioetanol ataupun biogas. Selain menghasilkan energi, juga sekaligus dapat menyelamatkan lingkungan.
Bagaimana jika kelak lahan darat harus dikerahkan untuk produksi pangan? Bahan bakar hayati pun bisa diproduksi dari budidaya cepat alga mikro yang tumbuh di perairan tawar/asin. Proses ini tidak membutuhkan traktor, penyemaian benih dan panen, serta ‘waktu tanam’ hanya 1 minggu saja. Asupan CO2 untuk alga pun dapat diambil dari emisi bahan bakar fosil. Hanya saja teknologi pemrosesannya masih berharga mahal. Namun, Indonesia sebagai negara bergaris pantai terpanjang di dunia memiliki potensi besar pada pengembangan jenis ini.
Tantangan
Fakta ini memunculkan sebuah pertanyaan, apakah demam investasi asing di Indonesia pada sektor bioenergi merupakan konspirasi negara-negara lain untuk mengeruk harta negara yang “dianggap miskin”?
Beberapa langkah yang dilakukan berbagai instansi pemerintah (baca: proyek) pengembangan biofuel juga telah dilakukan sejak 2006 silam. Pencanangan dan peresmian juga dilakukan oleh pejabat, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Bahkan, beberapa provinsi dan kabupaten/kota telah secara eksplisit membuat instruksi untuk memperluas areal kelapa sawit dan jarak pagar. Sekonyong – konyong proyek ini tampak sebagai upaya justifikasi untuk mengonversi hutan produksi. Biarlah sejarah yang akan mencatatnya.
Tantangan sumber penyediaan biofuel dari tanaman lain di Indonesia juga tidak kalah beratnya. Produksi gula tahun 2006 baru tercatat 2,3 juta ton, yang tentu saja sangat jauh dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi tahunan yang telah mendekati 4 juta ton. Terlalu naif apabila produksi gula untuk keperluan pangan yang masih kurang tersebut justru akan dikonversi untuk keperluan energi. Demikian pula, produksi ubi kayu sebesar 20 juta ton masih cukup jauh untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya.
Petani kita sendiri mempunyai kecenderungan “mudah tergoda”. Ketika orang ramai membicarakan bahwa bertanam sawit sangat menguntungkan, mereka berlomba – lomba membabat habis kebun kopi atau lada yang segogyanya adalah komoditas unggulan Lampung. Namun, ketika mereka dikecewakan dengan ketidaksesuaian harapan dan kenyataan, maka jenis tanaman mereka akan beralih lagi kepada tanaman yang dianggap akan menguntungkan. Kakao, misalnya, demi bertanam kakao para petani rela mengubah butan, bahkan gunung menjadi kebun kakao. Tentu saja hal ini akan mengganggu kelestarian alam. Lereng gunung sering dilanda banjir, bahkan longsor karena memang tanaman kakao tidak cukup kuat dalam menahan tanah dan menyerap air. Selain itu kualitas kakao yang kurang baik menyebabkan harganya tidak sesuai dengan harapan.
Keadaan ini lantas terbaca dan dimanfaatkan oleh pihak luar yang bermaksud menjadi investor asing. Ketika masyarakat telah merasa dikecewakan oleh kakao, sawit, dan sebagainya apalagi dijanjikan akan mendapatkan uang banyak yang tentu akan mengangkat status ekonomi para petani jika bertanam jarak pagar. Sayangnya proyek ini tidak serta merta dibarengi dengan upaya pelestarian lingkungan. Alih – alih menerapkan sistem sustainable agriculture (pertanian berkelanjutan), juru bicara empunya modal malah menyatakan ketidakpeduliannya terhadap isu kelestarian lingkungan. Itu urusan pemerintah, dalihnya. Tanpa ada rasa bersalah atau penyesalan sedikitpun, beliau dengan orasinya yang memukau orang – orang miskin (panggilannya terhadap para petani yang menjadi objek proyek investasi besar – besarannya) semakin menunjukkan ketidakwibawaannya lantaran tersirat bahwa investor itu hanyalah sosok yang rakus harta.
Pada kenyataannya, Sabah dan Serawak yang dulu masih berupa hutan yang rimbun, kini telah berubah menjadi ladang jarak pagar berhektar – hektar. Kemana fauna akan mengadu? Kekampung – kampung, lantas mengusik kehidupan warga masyarakat mungkin satu – satunya jalan yang mereka tempuh selain menyudahi kehidupan mereka. Pepohonan dibakar dengan alasan tanah hasil pembakaran adalah yang paling baik nutrisinya bagi pertumbuhan jarak pagar. Lalu bagaimana dengan asap pembakarannya? Tidakkah itu memperparah kerusakan lingkungan? Masyarakat pribumi yang masih polos diajak untuk mengumpulkan harta sebanyak – banyaknya. Mereka tidak diajari bagaimana menyeimbangkan antara perekonomian, isu lingkungan, kebutuhan pangan, yang semestinya sinergi seiring modernisasi yang mendera.
Terungkap sebuah fakta bahwa para investor mengajak para penambang timah di Indonesia telah didik untuk tidak sealu bergantung kepada komoditi timah yang suatu saat akan habis. Sebuah nilai positif yang diberikan kepada masyarakat. Tanah bekas tambang timah diubah menjadi ladang jarak pagar yang potensial dengan treatment pengembalian kesuburan tanah. Namun sayangnya didaerah – daerah lain mereka tidak mempedulikan berapa besar efek pemanasan global yang mereka hasilkan. Berapa kepala yang mereka didik sehingga terpatri dalam benak para petani untuk mendapatkan uang, uang, dan uang. Dan isu pelestarian lingkungan adalah urusan pemerintah semata. Masyarakat kita akan berubah menjadi kaum matrealis kapitalis. Na’udzubillah.
Jika benar bahwa kerusakan hutan diakibatkan lantaran adanya kerjasama antara pemerintah, pejabat, dan para pengusaha apakah kita hanya akan berdiam diri? Mematung. Menanti takdir buruk terjadi akibat tangan – tangan jahil yang tidak mensyukuri nikmat Illahi. Sampai kapan kita harus mengkambinghitamkan pihak ini pihak itu atas ketidakberesan yang terjadi didunia ini? Apakah tidak lebih baik bagi kita untuk bersama – sama, bahu membahu melakukan perbaikan demi kemaslahatan bersama. Bukan lantas ikut – ikutan menjadi perusak lingkungan (baca: trouble maker). Lalu apa bedanya kita dengan mereka?
Mungkin alasan dengan begitu kayanya Indonesia dengan keanekaragaman hayati, mengapa masih banyak masalah yang timbul? Mengapa justru investasi asing yang ‘ramah’ terhadap tanaman yang potensial, sedangkan APBN hanya memberikan porsi yang sangat sedikit? Sekadar latah dengan kecenderungan biofuel yang menjadi isu global, atau ini merupakan usaha sungguh-sungguh pemerintah untuk mengatasi masalah energi bangsa?
Penggunaan di bidang inilah yang menjadi fokus perhatian negara-negara industri guna menurunkan emisi karbondioksida global. Padahal 10 persen energi dipasok oleh bioenergi tradisional: kayu, arang, dan sebagainya di negara-negara berkembang. Oleh sebab itu kita harus mendorong pengembangan bioenergi berbasis pedesaan, utamanya luar Jawa guna memanfaatkan lahan-lahan tidur, dan sebisanya berbahan baku nonpangan seperti jarak pagar (jath- ropa). Bagi Indonesia, inilah peluang terbaik yang harus kita manfaatkan. Saatnya kita berdayakan para petani dan buruh tani melalui kebijakan yang pro-poor. Saatnya bangsa ini menjalankan reforma agraria agar petani kita tidak lagi gurem. Investasi pedesaan dengan pengembangan infrastruktur, teknologi yang resource based guna memanfaatkan keunggulan komparatif kita, kelembagaan, kredit, dan akses pasar bahan baku. Jika itu terjadi maka tidak akan ada kontroversi antara bioenergi dengan ketahanan pangan, dan kemiskinan tidak lagi bersama kita. Bioenergy becomes pro-poor!.
Apalagi ubi kayu dan jarak pagar memang bukan komoditas unggulan karena agronomisnya yang "rakus" hara tanah. Implikasinya adalah peluang pengembangan secara massal pasti sangat terbatas jika tidak disertai perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pertanahan yang memadai. Namun, pemerintah memang diberi mandat untuk melaksanakan amanat rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan dan menjamin keberlanjutan hidupnya. Kata kuncinya adalah kredibilitas dan wibawa lembaga publik untuk secara bijaksana mempertimbangkan untung-rugi dari praksis kebijakan yang diambilnya.
Menilik pada potensi negara Indonesia yang besar terutama untuk ketersediaan bahan baku, sudah sepantasnya negara Indonesia berani memproklamirkan diri sebagai negara lumbung bioenergi dunia. Berbagai tantangan kedepannya dalam pengembangan bioenergi ini, terutama pada aspek modal/investasi, perangkat hukum, pengembangan teknologi, permasalahan hambatan sosial, dan keterbatasan pasar dan penguna, hendaknya menjadi komitmen dan tanggung jawab bersama pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak terkait untuk mencari solusinya. Diharapkan dalam beberapa dekade ke depan, Indonesia dapat menjadi macan dunia dalam bidang energi. Dalam mencapai harapan tersebut, harus disadari bahwa keberhasilan tidak datang dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil kerja keras dari semua pihak/stakeholders.
Sehingga sangat disayangkan jika kita bersusah payah mencari sumber energi baru (bioenergi) yang bersifat mubah (boleh), sedangkan tanpa sadar yang menjadi milik umat sesungguhnya, sudah “dicuri” negara lain. Begitupun pengembangan dan produksi bioenergi harus dikembangkan secara sungguh-sungguh dan tetap berasaskan kemandirian. Demi berlepas diri dari ketergantungan terhadap asing. Program BBN seharusnya diarahkan pada pemenuhan kebutuhan domestik, bukan untuk ekspor. Pendanaan pun harus dalam kerangka nasional, terlebih pada titik-titik strategis. Kebebasan pada investasi asing tanpa memperhatikan kecukupan dan kemandirian nasional, sama saja membuka jalan lain bagi asing untuk mengeruk SDA kita lewat jalur lain. Produksi BBN tidak memerlukan teknologi yang terlalu tinggi, Indonesia sesungguhnya mampu untuk itu. Namun, politik luar negeri yang lemah dan ketidaktegasan pemerintah seakan-akan menjadikan program BBN ini sebagai “demam global” saja. Teknologi negara lain dianggap lebih mampu dalam menyelesaikan permasalahan negeri ini. Padahal, realita dan masalah yang terjadi di negeri ini mungkin tidaklah sama seperti yang terjadi di negara lain. Jika hal ini terus dibiarkan, bioenergi ini bukan menjadi solusi alternatif, tetapi akan menghasilkan masalah yang tak berujung. Seperti halnya mengaduk-aduk dalam lumpur. Padahal Indonesia dan negara muslim lain, terutama yang memiliki iklim tropis, memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah (baik secara jumlah maupun varietas). Sehingga berlepas diri dari ketergantungan asing bukan menjadi suatu hal yang mustahil.
Di sinilah peran mahasiswa yang peduli akan nasib bangsanya, masyarakat yang enggan dibodohi, para pengamat yang tak sekedar “mengamati’ namun juga melakukan tindakan nyata, serta partai politik yang tak sekedar berebut kursi di gedung dewan untuk terus menerus memonitor realita yang terjadi di hadapannya. Melihatnya dengan cermat dan mendalam. Semua pihak saling bahu membahu bekerja, membongkar maksud di balik realita, dan mengungkap kebobrokannya, lantas memperbaikinya bersama – sama.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments
Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<